Showing posts with label AK BIAYA. Show all posts
Showing posts with label AK BIAYA. Show all posts

28 January 2013


Akuntansi
Akuntansi Biaya - Ragam Metode Costing(cost accounting) termasuk aspek penting dalam dunia akuntansi. Salah satu aktivitas yang paling fundamental dalam akuntansi biaya adalah penentuan biaya (costing)—yang dijadikan sebagai acuan dasar dalam menentukan harga jual produk/jasa. Esensi dari penentuan biaya (costing), tiada lain, merupakan aktivitas memilih dan menjalankan metode costing yang paling sesuai bagi perusahaan—mulai dari pengumpulan data, pengolahan data, hingga penyajian laporan cost bagi pihak management.
Fungsi akuntansi biaya yang terkelola dengan baik, dapat memberikan informasi penting bagi manajemen sehubungan dengan: pengaruh dari penentuan harga jual suatu produk, kecenderunga cost, kinerja per departemen dan perusahaan secara keseluruhan, kapasitas pegawai dan produksi, bahkan berkontribusi besar terhadap penentuan strategi bisnis perusahaan hingga pada derajat tertentu.
Setengah dari alur akuntansi, di dalam perusahaan, ada di wilayah costing. Sehingga, bagi akuntan yang bekerja di dalam perusahaan (terutama manufaktur), kurangnya penguasaan akuntansi biaya adalah masalah serius, lubang kelemahan yang harus segara diatasi jika ingin menjadi akuntan yang handal di luar urusan jurnal-menjurnal dan penyusunan laporan keuangan.
Apakah cost accounting hanya urusan para cost accountant—sehingga mereka yang sudah ada di management/executive level dikecualikan? Justru chief accountant, controller dan CFO-lah yang paling berkepentingan terhadap pemilihan dan penerapan akuntansi biaya di dalam perusahaan yang mereka kelola. Merekalah yang harus menilai, menentukan, mengawasi, mengevaluasi dan mengubah metode costing yang diterapkan—jika dirasa perlu, agar tujuan perusahaan bisa dicapai dengan lebih efektif.
Bagaimana dengan akuntan publik dan para auditor? Merekapun wajib menguasai akuntansi biaya—kecuali bisa menghindar setiap kali diberi tugas memeriksa perusahaan manufaktur. Salah satu proses penting dalam auditing adalah melakukan cross-check terhadap arus uang, arus dokumen dan arus barang. Tanpa penguasaan akuntansi biaya yang mumpuni, mungkin mereka masih bisa memberikan pendapat, tetapi saya yakin judgement yang digunakan untuk mendukung pendapat itu akan sangat lemah.
Cakupan dari akuntansi biaya lumayan luas, tetapi intinya selalu berada di wilayah costing. Dan, seperti sudah saya sampaikan di awal tulisan, esensi dari penentuan biaya (costing) adalah: memilih dan menerapkan metode costing yang paling sesuai bagi karakter opersional perusahaan.
“Sesuai” yang saya maksudkan dalam hal ini adalah: bisa menghasilkan data yang paling akurat dan berdayaguna tinggi bagi proses pengambilan keputusan sehubungan dengan cost.
Ada beragam metode penentuan biaya (costing method) yang bisa diterapkan untuk mengumpulkan dan mengolah data-data cost: mulai dari job costing, process costing, standard costing, target costing, direct costing, dan lain sebagainya. Sehingga, seseorang yang ingin mumpuni dalam akuntansi biaya kudu mahir dalam menggunakan metode-metode tersebut.
Sebagai perkenalan di wilayah akuntansi biaya (cost accounting), saya akan mulai dengan membahas beragam metode costing—beserta kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tetapi sebelum itu, ada hal yang penting untuk saya sampaikan, terutama mengenai pentingnya memilih metode costing yang paling sesuai untuk perusahaan.

Untuk Akuntansi Biaya Yang Lebih Baik, Abaikan Prinsip dan Standard Akuntansi

Rasanya saya tidak perlu lagi membahas mengenai peranan akuntansi di dalam lingkungan binis, semua akuntan rata-rata sudah tahu akan hal itu. TETAPI, dari pengalaman saya mensupervisi bagian accounting dan keuangan di beberapa perusahaan, saya menemukan:
  • Rata-rata, para akuntan sangat jarang berpikir tentang: bagaimana caranya memaksimalkan peranan cost accounting untuk menghasilkan informasi cost yang dapat dijadikan sebagai input dalam proses pengambilan keputusan—yang pada akhirnya dapat mengarahkan operasional perusahaan menuju pencapian tingkat profitabilitas maksimal.
  • Rata-rata, para akuntan hanya berkutat diseputaran masalah mengenai: bagimana caranya agar cost yang dihasilkan dari proses akuntansi biaya dapat dimasukan ke dalam Laporan Keuangan.

Orientasi para akuntan, entah mengapa, sebagian besar masih saja menitikberatkan fokus pada laporan keuangan. Padahal, laporan keuangan hanya setumpuk kertas yang tidak ada artinya bila tidak dapat memberikan informasi yang bersifat incremental bagi pengelolaan suatu binis (entitas).
Saya memperkirakan, hal itu disebabkan oleh kuatnya pengaruh doktrin bawaan sejak di bangku kuliah—yang sedikit-sedikit prinsip akuntansi berterima umum (GAAP), sedikit-sedikit standar akuntansi, seakan-akan dunia ini akan bubar jika prinsip akuntansi dilanggar, dimanapun dan dalam konteks apapun.
Saya menghabiskan 5 tahun untuk meraih gelar sarjana akuntansi, ditambah 1 tahun pendalaman profesi dan belajar kode-etik, belum lagi ditambah bertahun-tahun menghabiskan waktu di KAP. Tanpa standard dan kode-etik, mana bisa menjadi akuntan profesional? Sorry, saya ingin jadi akuntan profesional, bukan pegawai accounting abal-abal yang cuma lulusan SMEA, seperti anda.”
Oh.. hi, hello Mr. Professional Accountant :Dkalau demikian halnya, saya ucapkan goodluck.
Dalam pemahaman saya (mohon dikoreksi jika keliru), PRINSIP dan STANDAR AKUNTANSI adalah petunjuk mengenai cara mengukur, mengakui dan menyajikan laporan keuangan perusahaan, agar fair bagi semua pihak yang berkepentingan—terutama bagi investor/shareholders (mohon ditambahkan jika ada yang kurang).
SEMENTARA, disamping sebagai bahasa bisnis, akuntansi adalah alat (tool) untuk menghasilkan informasi yang bisa digunakan sebagai input dalam pengambilan keputusan bisnis, TERMASUK keputusan-keputusan binis yang diambil oleh management internal perusahaan. Dan, input yang lebih banyak dibutuhkan dalam proses pengambilan keputusan bisnis oleh management perusahaan, adalah informasi-informasi terkait dengan cost atas produk/jasa yang dihasilkan.
Okelah, sebagian akuntan (terutama akuntan publik) sudah pasti orientasinya adalah stakeholders di luar management—terutama shareholdera. Pemeriksaan kepatuhan pelaporan keuangan (auditing), sebagian besar dimaksudkan untuk menilai seberapa “fair” laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan bagi para pemegang saham. Dengan ‘mantra’ yang mungkin lebih familiar: “apakah proses pengukuran, pengakuan dan penyajian informasi keuangan sudah sesuai standard?”
Sampai pada ‘pialang saham’ dan ‘analyst pasar modal’ mungkin masih peduli terhadap angka-angka lapora keuangan—untuk diolah menjadi rasio-rasio keuangan yang bisa digunakan untuk menjaring para pemain bursa saham—dan para pengambil keuntungan jangka-pendek lainnya. Middle-men macam business valuators yang dilibatkan dalam due diligent proses akuisi dan merger, mungkin juga masih peduli.
TETAPI, shareholders (investor yang sesungguhnya) tidak terlalu ambil pusing hal-hal lain, selain dividend. Bagi shareholders, laba-rugi dan retained earning tak lebih dari ASUMSI, PENDAPAT dan INTERPRETASI, yang samasekali USELESS, jika tidak bisa diconvert menjadi kas masuk ke pundi-pundi mereka (dalam bentuk pembagian dividend). Sedangkan audit assignment dibutuhkan hanya untuk 3 alasan: (a) formalitas permintaan Bappepam; (b) shareholders tidak percaya denga assersi management (penyajian laporan keuangan); dan (c) permintaan perusahaan untuk membangun citra kredibilitas—yang tentu saja hanya untuk keperluan public-relation semata. Tidak ada yang bersifat nyata dan incremental.
Boleh jadi profitabilitas capital market meningkat—dari hasil pembangunan citra dan public-relation effort lainnya, tetapi itu hanya akan menjadi angka-angka VIRTUAL belaka JIKA perusahaan TIDAK menghasilkan keuntungan yang nyata dari product market-nya—sehingga yang terjadi dalam aggregate ekonomi (makro) hanya perpindahan angka-angka lembar saham yang samasekali tidak berkontribusi nyata bagi penciptaan nilai tambah (value added) dalam suatu negara, pada wilayah yang lebih luas.
Sehingga, bagi saya (seorang pegawai accounting abal-abal tamatan SMEA)—yang pemahaman akuntansinya tentu masih dangkal, usaha-usaha mengoptimalkan fungsi akuntansi untuk meningkatkan efektifitas dan produktifitas opersional binis, TAK KALAH PENTINGNYA jika dibandingkan dengan usaha-usaha untuk taat dan tunduk tehadap prinsip/standar akuntansi yang ada. Lebih bagus lagi, jika keduanya bisa bersinergi.
Target utama saya, dalam costing, adalah menyediakan informasi cost yang bisa menjadi input bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan oleh manajemen perusahaan. Dan untuk mencapai target itu, seringkali saya harus melakukan tweak dan kustomisasi, membuat hybrid-system yang paling sesuai bagi karakter operasional perusahaan.
Misalnya:
Untuk decision-making yang lebih akurat sehubungan dengan harga dari tambahan unit produk terjual (biasanya harga yang paling mendekati direct cost), saya harus menggunakan incremental cost yang timbul pada setiap tambahan unit produk yang dihasilkan. Nah, jika harus mematuhi standard akuntansi, menggunakan metode penentuan biaya yang hanya mengalokasikan porsi overhead cost ke dalam product cost akan membuat saya kesulitan—meskipun untuk yang tergolong bukan incremental cost.
Dalam konteks yang lebih sempit, demi untuk meningkatkan dayaguna informasi cost yang dihasilkan dari proses akuntansi biaya, dalam banyak hal saya memilih untuk DENGAN SENGAJA mengabaikan prinsip/standar akuntansi yang ada. Khusus di wilayah costing, jika terpaksa, saya memilih untuk menomorduakan GAAP, tidak kenal PSAK, aturan Bappepam, dan regulasi sejenisnya.
Begitulah cara pandang saya mengenai pentingnya proses pemilihan dan penerapan metode costing secara khusus—dan cost accounting dalam cakupan lebih luas, yang lebih banyak berfokus pada pertimbangan: bagimana caranya mendayagunakan cost accounting untuk bisa memberi manfaat maksimal bagi pengelolaan bisnis, ketimbang sekedar bisa memasukan unsur cost ke dalam laporan keuangan.
Selanjutnya, mari kita lihat, satu-per-satu, ragam metode costing—beserta keunggulan dan kelemahannya masing-masing.

Macam Motode Costing Beserta Keunggulan dan Kelemahannya

Secara konsep, ada tujuh metode costing yang paling lumrah digunakan, sesuai dengan karakter perusahaan masing-masing:
1. Job Costing – Job costing melibatkan serangkaian transaksi-transaksi yang mengakumulasikan biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan overhead untuk satu unit aktivitas yang disebut dengan “Job Order” (JO). Metode ini biasanya diterapkan dalam ligkungan manufaktur yang memproduksi barang pesanan—dalam pengertian, design, fitur dan spesifikasi lainya ditentukan oleh pemesan. Untuk masing-masing kategori, cost diakumulasikan melalui serangkian transaksi-transaksi, sebelum di bebankan (charged) ke “Job Order” tertentu.
  • Keunggulan: Sangat bagus untuk menelusuri cost per unit produk, bisa menghasilkan informasi yang lebih akurat, jika dibandingkan dengan metode lain. Job costing disebut-sebut sebagai metode penentuan cost yang paling efektif dan valid untuk mengakumulasikan biaya kesepakatan kontraktual cost-plus.
  • Kelemahan: It requires a large quantity of detailed data collection and data entry, which is expensive. It also runs the risk of including some inaccurate data, which requires expensive control systems to minimize. Furthermore, there may be a significant allocation of overhead costs to each job, which may be inaccurately applied.

2. Process Costing – Lumrah diterapkan pada lingkungan perusahaaan dimana variasi produk yang dibuat sedikit atau bahkan bersifat tunggal—dalam pengertian: jenis barang, ukuran, material, mesin/alat, metode produksi, dan sumberdaya manusia yang digunakan relative sama. Dalam situasi ini, adalah sangat sulit untuk membedakan biaya produk satu-per-satu. Misal: perusahaan refiner (pemurnian), adalah sangat sulit untuk menelusuri biaya yang keluar untuk masing-masing galon minyak yang digunakan. Metode yang paling lumrah dipergunakan untuk menghitung cost per-unit dalam proses costing adalah dengan cara mengakumulasikan semua biaya terkait dengan proses produksi dalam suatu periode, selanjutnya ‘weighted average’ cost per-unit dihitung berdasarkan total total cost terakumulasi tersebut.
  • Keunggulan: Data cost dikumpulkan menjadi satu untuk keseluruhan periode produksi yang kemudian dialokasikan ke volume produksi yang dijalakan dalam satu periode, menghasilan cost per-unit rata-rata yang relative akurat, tetapi tidak seakurat job costing. Metode ini relatif cepat dan memerlukan tenaga yang relative lebih kecil jika dibandingkan metode lain.
  • Kelemahan: Cost per-unit yang dihasilkan adalah cost rata-rata yang tentu saja tidak terlalu akurat. Disamping itu, khususnya saat menentukan volume produksi yang diproses, perusahaan sering menggunakan estimasi—karena sebagian barang mungkin belum benar-benar selesai diproduksi.

3. Direct Costing – Direct cost adalah cost yang terasosiasi langsung dengan perubahan volume produksi. Pengertian direct cost ini, berhubungan erat dengan bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung, tapi tidak dengan mesin. Misal: bahan baku yang digunakan untuk membuat produk dan upah tenaga kerja untuk proses pembuatan barang adalah direct cost, tetapi biaya-biaya sehubungan dengan mesin yang digunakan untuk berproduksi bukan direct cost—karena mesinnya masih tetap di pabrik terlepas dari perubahan volume produksi. Dengan kata lain, overhead tidak diikutsertakan dalam perhitungan costing.
  • Keunggulan: Metode ini biasanya disukai oleh management yang ogah terus-menerus membuat perhitungan cost setiap kali ada penambahan volume produksi—terlebih-lebih jika ada item produk baru. Bagaimanapun juga proses penentuan cost memang mengkonsumsi waktu, tenaga dan pikiran. Jika tidak mau repot membuat costing setiap ada penambahan volume produksi atau produk baru, direct costing memang pilihan yang paling nyaman. Disamping itu, direct costing juga paling ideal saat dipakai untuk menentukan harga termurah yang bisa ditawarkan—dengan harapan dapat menjual lebih banyak, misalnya.
  • Kelemahan: Dalam jangka pendek, penentuan cost (untuk pada akhirnya menentukan harga jual) dengan menggunakan metode direct memang masih bisa, tetapi tidak untuk jangka panjang. Kian lama cost yang dihasilkan akan kian tidak akurat, akibat tidak diikutsertakannya overheda dalam perhitungan costing.

4. Throughput Costing (Accounting) – Metode yang satu ini berfokus pada maksimalisasi kapasitas (orang dan produksi), yang sesungguhnya tiada lain merupakan variasi atau pengembangan dari direct costing. Metode ini mengasumsikan bahwa: selalu ada kemacetan operasional (lumrah disebut “bottleneck operation”) dalam proses produksi—yang menghambat kecepatan (speed) penyelesaian barang. Masalah kemacetan inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan untuk menentukan barang mana yang sebaiknya diproduksi terlebih dahulu dan mana yang belakangan—karena masing-masing akan menghasilkan tingkat profitabilitas yang berbeda. Pada dasarnya, metode ini hanya mengikutsertakan bahan baku sebagai komponen utama dalam pertimbangan decision-making sehubungan dengan cost, sementara biaya tenaga kerja tidak.
  • Keunggulan: throughput costing bisa meningkatkan profitabilitas dalam jangka pendek secara maksimal, jika perusahaan benar-benar mengelola bottleneck kapasitas (baik fasilitas maupun sumberdaya manusia) dengan baik dan disiplin—sesuai dengan apa yang ditunjukan oleh cost analysis yang dihasilkan oleh metode tersebut—sehingga contribution margin yang paling maksimal bisa dicapai.
  • Kelemahan: Adanya peringkat prioritas (fokus pada produk yang kemungkinan menghasilkan tingkat profitabilitas paling tinggi), dalam jangka panjang akan menimbulka hubungan yang tidak baik dengan pihak pelanggan, yang cepat atau lambat akan menimbulkan masalah yang tak kalah seriusnya dengan profitabilitas—kecuali perusahaan benar-benar bisa hidup hanya dengan memproduksi produk-produk yang memiliki profitabilitas tinggi.

5. Activity-based Costing (ABC) – Metode penentuan cost dengan ABC system dirancang untuk mengarahkan agar setiap biaya overhead yang timbul bisa dihubungkan (atau dikaitkan) aktivitas tertentu untuk suatu produk dan departemen/bagian/seksi tertentu di dalam perusahaan—yang nantinya bisa menjadi sumber informasi utama bagi manajemen untuk mengetahui: di wilayah mana overhead banyak digunakan? Untuk aktivitas apa saja? Dan, untuk produk apa (yang mana)?
  • Keunggulan: Metode costing dengan ABC system adalah jawaban atas kelemahan yang terjadi di direct costing maupun throughput costing. Dengan ABC system, management dapat melakukan kontrol yang lebih baik terhadap overhead, sekaligus dapat mengetahui aktivitas untuk produk mana yang mengkonsumsi overhead lebih banyak.
  • Kelemahan: ABC system memerlukan pemahaman system operasi sekalgus costing dari setiap aktivitas di dalam perusahaan. Disamping itu, penerapan ABC system membutuhkan tenaga, waktu dan komitmen yang tinggi dari semua personel—mulai dari tingkat pelaksana hingga management, dan ini bukan sesuatu yang mudah dicapai. Khusus di system akuntansinya, ABC system memerlukan data base yang luar biasa detail—setup awalnya saja bisa memakan waktu lebih dari satu tahun untuk perusahaan bersakal menengah, belum lagi maintenancenya. Bayangkan, setiap item produk baru pastinya membutuhkan aktivitas yang agak berbeda (meskipun tidak terlalu jauh), menggunakan tools yang berbeda, setup mesin yang berbeda, dan semua itu harus dikonstruksi di data base system. Oleh sebab itu, untuk perusahaan yang aktivitas produksinya tidak terlalu massif (dengan variance produk yang tidak terlalu banyak), saya tidak pernah merekomendasikan penerapan ABC system.

6. Standard Costing – Standard costing termasuk yang cukup populer digunakan. Langkah pertama yang dilakukan dalam menerapkan metode ini adalah dengan menentukan “standard cost”—per satu jenis aktivitas–untuk masing-masing jenis produk yang akan diproduksi. Saya pribadi banyak menerapakan standard cost (yang saya kombinasikan dengan beberapa metode lain). Untuk penerapan standard cost saya menugasi engineer di research & development membuat standard untuk direct labor cost, officer di bagian purchasing—bersama-sama dengan engineer bag produksi—membuat standard untuk penggunaan bahan baku dan bahan penolong, sedangkan standard untuk overhead cost saya tugaskan ke cost accountant. Standard di masing-masing aktivitas tersebut kemudian dijadikan satu oleh cost accountant (bersama-sama dengan enginner di R&D), maka terbentulah Bill of Material (BOM) yang tiada lain adalah “standard cost” per satu jenis barang yang diproduksi. Setiap kali suatu aktivitas dijalankan, akan menimbulkan perbedaan antara standard cost (yang ada di BOM), selisih tersebut saya kanalkan (secara otomatis) ke akun yang saya sebut dengan “variance”—yang sewaktu-waktu bisa saya gunaka untuk menilai tingkat efisiensi dan efektivitas suatu aktivitas, termasuk mengukur profitabilitas produk yang sedang dikembangkan.
  • Keunggulan: Metode standard costing sangat ampuh untuk digunakan untuk melakukan pengendalian cost di semua lini perusahaan. Dengan metode ini, nyaris setiap aktivitas bisa diukur tingkat efisiensinya. Satu-satunya PR follow up yang penting dalam penerapan metode standard costing adalah: mencari-tahu alasan yang menyebabkan timbulnya variance, dan pengalaman saya menunjukan ini bagia yang tersulit.
  • Kelemahan: Standard costing menghabiskan banyak energi dan waktu, khususnya di awal-awal—saat standard di buat. Dan pembentukan standard ini akan terus terjadi setiap ada produk baru yang dikembangkan. Dan Penentuan standard cost seringkali menjadi sesuatu yang tricky—pada titik tertentu para operator/pelsakana dan manager sering dihadapkan pada pilihan antara memenuhi standard atau meningkatkan kwalitas produk yang dihasilkan. Ini membutuhkan resolusi yang benar-benar komprehensive, sehingga tidak perlu timbul tindakan saling menyalahkan ketika variance yang cukup besar muncul ke permukaan di kemudian harinya.

7. Target Costing – Keenam metode costing yang saya sebutkan sebelumnya, semuanya berfokus pada interpretasi data cost setelah terjadi. Target costing menggunakan pendekatan sebaliknya—data cost ditentukan (dipatok) terlebih dahulu untuk kemudian diikuti oleh semua aktivitas di dalam perusahaan. Konkretnya, management—melalui serangkaian proses riset—mempelajari kondisi pasar (baik expektasi customer maupun tingkat kompetisi) terlebih dahulu, untuk menentukan “target cost.” Selanjutnya, produk dirancang mengikuti skema target cost yang telah ditentukan. Mulai dari proses perancangan dan proses produksi yang sesungguhnya, usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi terus dilakukan, sehingga target cost yang diharapkan bisa dicapai. Bisa dibilang, ini model market-oriented costing.
  • Keunggulan: Model market-oriented dari metode target costing sangat bagus diterapkan pada produksi barang yang memiliki tingkat kompetisi yang tinggi di pasaran (consumer goods, apparels dan electronics misalnya).
  • Kelemahan: Satu-satunya kelemahan metode target costing ini adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan riset dan perancangan produk—yang jika tidak dilakukan dengan time table yang ketat, bisa keteteran dalam menghadapi laju perubahan time-value money dan inflasi dalam jangka panjang. Proses yang panjang ini otomatis memakan waktu dan tenaga yang besar. Saya pribadi meng-hybrid-kan metode ini dengan standard costing. Target costing saya gunakan khusus untuk produk baru yang belum memiliki segment pasar pasti (untuk keperluan infiltrasi pasar).

Secara keseluruhan, pemilihin metode costing sangat berpengaruh terhadap informasi cost yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan oleh mangement perusahaan (untuk keperluan  product pricing dan costing), berkaitan langsung dengan tingkat profitabilitas perushaan dalam skala yang lebih luas. Oleh sebab itu, saya selalu menganjurkan agar, pemilihan metode costing benar-benar dilakukan dengan “management’s interest in mind”, bukan yang lainnya. Dengan costing best practicesyang baik, cost accounting akan bisa berdaya guna secara maksimal. Berusaha mengkombinasikan beberapa metode costing, selalu baik—dengan catatan: disesuaikan dengan karakter produk, kapasitas produksi dan organization behaviorallainnya.

SUMBER:http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/04/akuntansi-biaya-ragam-metode-costing-keunggulan-dan-kelemahannya/

AkuntansiLaba Rugi Perusahaan Jasa Ada Harga Pokok Penjualannya


Pertanyaan ‘apakah-perusahaan-jasa-menyajikan-harga-pokok-penjualan-pada-laporan-laba-ruginya’ ini, tergolong klasik; sangat sering saya dengar atau baca, sejak 10 tahun yang lalu hingga saat ini—khususnya di kalangan akuntan dan pegawai accounting pemula yang bekerja di perusahaan-perusahaan.
Saya tidak tahu persis, mengapa masih banyak yang bingung antara menyajikan atau tidak menyajikan harga pokok penjualan, pada laporan laba rugi perusahaan jasa. Untuk sementara, saya memperkirakan karena sampai saat ini standar akuntansi keuangan kita (SAK) tidak mengatur hal ini secara khusus dan rinci.
Sehingga, rasanya wajar kalau Mas Unyu, yang tergolong pemula, masih bingung. Dan sangat mungkin masih banyak Mas Unyu-Mas Unyu lainnya di luar sana. Itu sebabnya mengapa saya luangkan waktu untuk menulis artikel ini, di tengah-tengah kesibukan menjelang tutup buku.
Saya dedikasikan artikel ini khusus untuk pembaca JAK yang mengalami situasi yang sama seperti Mas Unyu: bingung antara menyajikan atau tidak menyajikan harga pokok penjualan pada laporan laba-rugi perusahaan jasa.

Jawaban Singkatnya

Mungkin anda sibuk, sehingga butuh jawaban singkat.
Sebelum menulis artikel ini, saya sudah coba googling, browse kemana-mana, untuk mendapat jawaban pasti atas pertanyaan dalam judul tulisan ini.
  • Jika saya ranking dan cari modusnya, jawaban yang paling banyak muncul (di blog-blog dan forum-forum) adalah: “TIDAK ADA HPP PADA PERUSAHAAN JASA”—tanpa disertai penjelasan yang memadai (dapat memuaskan penanya).
  • Menurut saya, bisa jadi “ADA” dan bisa jadi “TIDAK ADA” Harga Pokok Penjualan pada perusahaan jasa—tergantung bergerak di bidang jasa apa, tepatnya. Silahkan baca summary-nya di akhir tulisan ini.
Jika anda punya waktu agak panjang, saya ingin mengundang anda untuk mengikuti tulisan ini secara rinci, hingga tuntas. Namun sebelum lebih jauh mengenai Harga Pokok Penjualan pada perusahaan jasa, ada baiknya jika kita lihat terlebih dahulu: bagaimana Laporan Laba Rugi disajikan, menurut PSAK 1—khususnya mengenai penyajian “beban” (costs and expenses).

Penyajian Laporan Laba Rugi (Khususnya “Beban”) Menurut PSAK1

PSAK 1, paragraf 97 s/d 102, menyebutkan bahwa, entitas (=perusahaan) menyajikan analisis “beban”—yang diakui dalam laba rugi—dengan menggunakan 2 metode pengklasifikasian:
1. Klasifikasi berdasarkan “Sifat Beban” – Pada paragraf 100 disebutkan bahwa, entitas menyajikan klasifikasi beban berdasarkan sifatnya (misal: penyusutan, pembelian bahan baku, biaya transportasi, imbalan kerja, dan biaya iklan). Konon, metode ini lebih mudah diterapkan (namun kurang mampu menyajikan informasi secara handal dan relevan), karena tidak memerlukan adanya alokasi beban menurut klasifikasi fungsional. Contoh penyajiannya (dikutip dari PSAK 1):
Pendapatan                                                                         = XXX
Pendapatan lainnya                                                         = XXX
Perubahan atas persediaan barang jadi-
dan barang dalam proses                               = XXX
Bahan baku yang digunakan                          = XXX
Beban imbalan kerja                                         = XXX
Beban penyusutan dan amortisasi             = XXX
Beban lainnya                                                      = XXX
Total beban                                                                         = (XXX)
Laba sebelum pajak                                                         = XXX
2. Klasifikasi berdasarkan “Fungsi Beban” – Paragraf 101 menyebut ini dengan istilah “metode fungsi beban” atau “metode biaya penjualan”. Menggunakan metode ini, beban diklasifikasikan bedasarkan fungsinya sebagai bagian dari biaya penjualan atau, misalnya, biaya aktivitas distribusi atau administratif. Sekurangkurangnya, menurut standar yang sama, entitas mengungkapkan “biaya penjualan” secara terpisah dari beban-beban lainnya. Contoh penyajian Laporan Laba Rugi dengan menggunakan metode ini (dikutip dari PSAK 1), adalah sbb:
Pendapatan                  = XXX
Beban penjualan        = (XXX)
Laba bruto                   = XXX
Pendapatan lainnya  = XXX
Beban distribusi         = (XXX)
Beban administratif  = (XXX)
Beban lainnya             = (XXX)
Laba sebelum pajak  = XXX

Catatan Khusus Dari Saya

1. Metode kedua lebih banyak digunakan – Menurut pengamatan saya, kebanyakan perusahaan (terutama yang menerapkan sistim persediaan perpetual) menggunakan metode yang kedua. Rupanya, ini memang lebih rekomendasikan oleh PSAK 1, karena dianggap lebih mampu menyajikan informasi yang relevan kepada pengguna laporankeuangan, dibandingkan metode pertama.
2. Mana “Harga Pokok Penjualan (HPP)”-nya? – Jika tidak cukup update, mungkin anda mencari-cari elemen “Harga Pokok Penjualan” dan tidak menemukannya pada kedua contoh di atas. Dalam PSAK terbaru (PSAK nomor berapaun), istilah “Harga Pokok Penjualan” sudah tidak digunakan lagi, diubah menjadi “Beban Pokok Penjualan”. Jika anda baca PSAK 1, anda tidak akan menemukan pembahasan khusus mengenai bagaimana Beban Pokok Penjualan (alias Harga Pokok Penjualan) seharusnya disajikan dalam Laporan Laba Rugi. Karena memang tidak ada.
3. Mana elemen “Biaya Penyusutan, Biaya Gaji, Biaya Administrasi, Biaya Lain-lain”? – Bertahun-tahun belajar akuntansi, tentu anda sudah sangat lekat dengan penggunaan kata “biaya”. PSAK yang baru sudah tidak (atau sangat jarang) menggunakan kata “biaya”. Baik biaya dan beban, pada PSAK yang baru, hanya disebut “beban.” Tidak tahu persis apa alasannya, tetapi saya memperkirakan itu dilakukan untuk mengurangi kerancuan makana dan penggunaan antara kata “beban” (yang dulu sering dianggap sepadan dengan “cost”) dengan kata “biaya” (yang dulu dianggap sepadan dengan “expense”).
Satu pertanyaan yang cukup mengganjal, menurut saya, yaitu:mengapa PSAK tidak membahas, secara khusus dan rinci, mengenai tatacara penyajian harga pokok penjualan?
Entah anda, bagi saya pertanyaan ini cukup menganggu, dan penting untuk dijawab. Bahkan saya menganggap jawaban atas pertanyaan ini bisa jadi modal dasar untuk memahami mengapa bahasa PSAK, kerapkali, sulit diterjemahkan ke dalam pekerjaan para akuntan yang bekerja di dalam perusahaan (bukan akuntan eksternal).

Mengapa Harga Pokok Penjualan (HPP) Tidak Diulas Rinci Dalam PSAK?

Maaf, saya masih menggunakan istilah “Harga Pokok Penjualan” (HPP) karena yakin sebagian besar pembaca belum terbiasa menggunakan istilah “Beban Pokok Penjualan”, dan saya tidak mau pembaca dibingungkan oleh istilah.
Kembali ke pertanyaan di atas: mengapa PSAK tidak mengulas, secara khsusu dan rinci, mengenai tata cara penyajian HPP?
Yang paling tahu jawabanya sudah pasti Dewan Standar Akuntani Keuangan (DSAK) kita, bukan saya atau anda. Tetapi saya memandangnya seperti ini:
  • Pertama, Laporan Keuangan dibuat untuk kepentingan para pihak di luar perusahaan (pemegang saham, calon pemegang saham, kreditur, dan ditjen pajak). Para pihak di luar perusahaan ini, dalam PSAK, disebut sebagai “pengguna laporan keuangan”—sedangkan manajemen perusahaan dianggap sebagai “bukan pengguna”, melainkan “pembuat laporan” (istilah literaturenya “pembuat asersi”).
  • Kedua, PSAK disusun untuk satu tujuan saja, yaitu: melindungi kepentingan “pengguna laporan keuangan”—supaya laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan bisa memberi informasi yang andal dan relevan bagi mereka (bukan bagi orang dalam perusahaan itu sendiri). Tak lebih dan tak kurang.
  • Ketiga, saya memperkirakan, PSAK menganggap bahwa, “pengguna laporan keuangan”—yang nota benanya adalah pihak luar perusahaan—tidak membutuhkan penyajian harga pokok penjualan secara rinci, cukup disajikan seperti dalam contoh.
Dari ketigas asumsi dasar di atas, bisa kita lihat dengan jelas mengapa bahasa PSAK lebih sering (bahkan selalu) ditujukan untuk para akuntan eksternal. Perspektif yang digunakan oleh PSAK adalah perspektif luar perusahaan. Semua pembaca PSAK dianggap sebagai akuntan eksternal (bukan internal perusahaan). Itu sebabnya, mengapa PSAK sering membingungkan bagi pihak internal perusahaan.
Saran saya (untuk akuntan internal perusahaan): ketika membaca PSAK, posisikan diri anda seolah-olah seorang akuntan eksternal yang samasekali tidak memiliki kepentingan terhadap urusan internal perusahaan. Dengan begitu, maka isi PSAK akan terasa lebih masuk-akal, sehingga menjadi lebih mudah dipahami.[/box_light]
Khusus mengenai rincian (termasuk penyajian) harga pokok penjualan pada laporan laba rugi, menurut hemat saya, oleh DSAK diserahkan kepada diskresi manajemen perusahaan—karena fungsinya lebih banyak untuk kepentingan analysis internal, dibandingkan eksternal. Bahasa kasarannya “Atur-atur sendiri lah di sana, yang penting andal dan relevan”.
Tentu hal ini bukan hambatan bagi para akuntan ektsernal, karena yang paling penting bagi akuntan eksternal adalah laporan keuangan yang sesuai standar akuntansi, yang melindungi kepentingan pihak luar perusahaan. Tetapi menjadi masalah bagi akuntan internal yang dituntut untuk menyajikan laporan keuangan sesuai standar akuntansi sekaligus bisa menjadi input pengambilan keputusan bagi manajemen—yang seringkali membutuhkan tingkat kerincian yang lebih.
Oke. Cukup pembahasan standarnya. Kita lupakan sejenak standar. Selanjutnya, mari kita fokus hanya pada persoalan utama: apakah laporan laba rugi perusahaan jasa, sebaiknya, ada harga pokok penjualannya atau tidak?

Anggapan Keliru (Dan Membingungkan) Terkait HPP dan Perusahaan Jasa

Ada 2 anggapan keliru dan cenderung membingungkan, sehubungan dengan Harga Pokok Penjualan dan Perusahaan Jasa, yang paling sering saya temukan:

1. Anggapan Keliru: Perusahaan Jasa Tidak Punya Persediaan

Saya masih ingat masa sekolah dahulu, banyak buku pengantar akuntansi yang menyebutkan bahwa:
Jenis perusahaan yang memiliki persediaan hanya perusahaan manufaktur dan dagang, sedangkan perusahaan jasa tidak punya persediaan
Anggapan ini cenderung keliru dan saaaaaaangat memibingungkan :)Mengapa?
Karena pada prakteknya, jenis perusahaan yang “murni jasa” bisa dihitung jari (misalnya: jasa konsultasi hukum, keuangan, pajak, manajemen, audit, penilaian aset/appraisal/aktuaria.) Selebihnya (mayoritas), TIDAK MURNI jasa, melainkan campuran “jasa+dagang”. Sayangnya, ketentuan kode kelompok usaha (KLU)—baik menurut ditjen pajak maupun departemen perindustrian dan perdagangan—tidak menggolongkan satu perusahaan kedalam dua kode jenis usaha berbeda. Misalnya:
  • Jasa Dokter – KLU nya “jasa dokter”, pada kenyataannya rata-rata dokter (terutama yang berpraktek di rumah) sekaligus dagang obat, sehingga usaha jasa yang satu ini punya persediaan obat.
  • Jasa Reparasai (elektronik, komputer, termasuk bengkel) – KLU nya tetap “jasa reparasi”, pada kenyataannya tidak murni jual jasa reparasi, melainkan sekaligus dagang suku cadang (sparepart), sehingga perusahaan jasa ini punya persediaan sparepart.
  • Jasa Penerbangan (maskapai) – KLU nya “jasa penerbangan” (maskapai), pada kenyataannya tidak murni jual jasa angkut penumpang, melainkan sekaligus dagang merchandise dari parfum, kaos, topi, hingga gantungan kunci, sehingga jasa yang satu ini juga punya persediaan merchandise.
  • Hotel/Resort/Villa/Hostel/Motel/Losmen – KLU nya “jasa akomodasi”, pada kenyataannya tidak murni jual jasa akomodasi, melainkan sekaligus dagang makanan dan minuman, snack, dan lain sebagainya, sehingga jasa yang satu ini juga punya persediaan barang
  • Dan masih banyak lagi lainnya—menurut saya mayoritas—yang TIDAK MURNI JASA
Simpulan: tidak benar bahwa perusahaan jasa tidak memiliki persediaan—tergantung jasa apa dulu. Menurut saya bahkan sebagian besar perusahaan jasa, sekarang ini, memiliki persediaan.

2. Anggapan Membingungkan: Tidak Ada Persediaan Berarti Tidak Ada Harga Pokok Penjualan

Apakah pernyataan ini salah?
Tidak salah, tetapi memerlukan penjelasan lebih rinci. Yang benar: harga pokok penjualan (HPP) adalah segala pengeluaran (bukan penggunaan persediaan saja) yang mempengaruhi barang/jasa yang dihasilkan, pada suatu periode.
“Mempengaruhi” dalam hal ini bisa jadi:
  • Membuat KUANTITAS barang/jasa yang dihasilkan menjadi naik/turun—sehingga pada akhirnya mempengaruhi naik/turunnya revenue yang dihasilkan; atau
  • Membuat KUALITAS barang/jasa yang dihasilkan menjadi naik/turun—sehingga pada akhirnya mempengaruhi naik/turunnya revenue yang dihasilkan.
Pertanyaannya: apa saja yang mempengaruhi output barang/jasa yang dihasilkan?
  • Persediaan – Besarnya penggunaan persediaan (bahan baku, penolong, dan barang jadi) yang sudah tentu mempengaruhi output barang yang dihasilkan.
  • Upah Buruh – Besarnya pengeluaran upah buruh (termasuk pegawai tak tetap) yang berpengaruh terhadap output barang/jasa yang dihasilkan.
  • Overhead – Besarnya pengeluaran-pengaluaran yang berpegaruh terhadap output barang/jasa yang dihasilkan, selain persediaan dan upah buruh
Jika saya formulasikan jadinya:
Harga Pokok Penjualan (HPP) = Persediaan Digunakan + Upah Buruh + Overhead
Itu kondisi idealnya. Pada prakteknya, banyak perusahaan yang tidak memiliki persediaan tetapi mengeluarkan upah buruh dan overhead, atau upah buruh saja, atau overhead saja.
Jika upah buruh dan overhead tidak diakui sebagai harga pokok penjualan, apakah kedua beban tersebut diakui sebagai biaya operasional—bersama-sama dengan biaya admin, office supplies, dan gaji pegawai tetap?
Tentu tidak, karena bagimanapun juga upah dan overhead bukan biaya opersional (biaya tetap)—besar kecilnya kedua beban tersebut terkait langsung dengan besar-kecilnya jasa yang diserahkan ke pelanggan.
Lalu diakui sebagai apa? Bingung kan? Ini yang jarang dibahas—sehingga masih menyisakan pertanyaan yang menggantung.
Berikut ini, bagi yang belum pernah dengar, saya perkenalkan “Biaya Penjualan” dan “Cost of Revenue”.

Biaya Penjualan (Bukan Harga Pokok Penjualan) dan Cost of Revenue

Entah mengapa, topik ini jarang dibahas—baik di buku-buku maupun di blog dan forum.
Jika kembali ke PSAK 1, khususnya paragraf 101, disana disebutkan:
Sekurangkurangnya, entitas mengungkapkan ‘biaya-penjualan’ secara terpisah dari beban-beban lainnya.”
Perhatikan kalimat di atas; disana disebutkan ‘biaya-penjualan’ (bukan ‘beban pokok penjualan’). Artinya, sebuah laporan laba-rugi, MINIMAL, menyajikan “biaya penjualan”—terlepas dari apapun jenis usahanya.
Dalam GAAP, ini disebut “Cost of Revenue” untuk perusahaan jasa, yang disajikan terpisah dengan biaya-biaya opersional seperti biaya administrasi, biaya office supplies, dan biaya gaji pegawai tetap. Bisa dibilang, cost of revenue adalah “cost of goods sold”-nya perusahaan jasa.
Pertanyaan: Apa saja yang masuk ke dalam ‘cost of revenue’?
Jawaban: semua pengeluaran yang terkait langsung dengan pembentukan dan penyerahan jasa. Ada-tidaknya pengeluaran ini dipengaruhi oleh ada-tidaknya jasa yang diserahkan. Besar-kecilnya pengeluaran ini terkait langsung denggan besar-kecilnya jasa yang diserahkan ke pelanggan, diantaranya:
  • Komisi penjualan jasa
  • Biaya transportasi untuk menyerahkan jasa (=”delivery cost’).
  • Sewa peralatan atau kendaraan yang timbul akibat aktivitas pembentukan dan penyerahan jasa
  • Upah/fee untuk pekerja lepas, tenaga ahli dan profesional yang dilibatkan dalam proses pembentukan dan penyerahan jasa.
Berikut ini saya sajikan beberapa contoh kasus:
Contoh Kasus#1. Perusahaan Jasa Reparasi – Anda memiliki perusahaan jasa reparasi komputer. Spare part dibeli oleh pelanggan sendiri langsung ke toko spare part, sedangkan perusahaan anda hanya mengerjakan proses reparasi saja. Tetapi anda menggunakan pegawai lepas (freelancer) yang anda bayar per proyek pekerjaan. Disamping itu, anda juga menyediakan uang penggantian bensin setiapkali pegawai lepas datang ke perusahaan anda atau ke tempat pelanggan. Nah, pengeluaran untuk membayar pegawai lepas ini—baik upah maupun uang bensinnya—adalah “Biaya Pendapatan Jasa” (cost of revenue).
Contoh Kasus#2.Perusahaan Jasa Ticketing/Travel Agent – Anda bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang jasa ticketing atau travel agent. Untuk menarik pelanggan perusahaan menyediakan layanan antar tiket dan antar jemput penumpang ke airport. Untuk aktivitas traveling, perusahaan mempekerjakan guide lepas yang dibayar setiapkali mengantar pelancong. Nah, pengeluaran untuk beli bensin setiapkali mengantar tiket dan setiap kali mengantar-jemput penumpang ke airport masuk ke dalam “Biaya Pendapatan Jasa” (cost of revenue). Demikian juga pengeluaran untuk membayar guide lepas, masuk ke ‘cost of revenue’
Contoh Kasus#3. Perusahaan Jasa Konsultasi Manajemen – Anda seorang akuntan yang bekerja di perusahaan konsultasi manajemen. Untuk klien yang tergolong skala besar, anda menyewa tenaga ahli/profesional tertentu yang dibayar per proyek. Untuk kebutuhan presentasi ke klien, perusahaan menyewa peralatan khusus yang harganya terlalu mahal untuk dibeli. Nah pengeluaran untuk membayar tenaga ahli/profesional dan sewa peralatan presentasi ini masuk ke ‘Cost of Revenue’.

Summary

Secara keseluruhan, bisa saya ringkas menjadi sbb:
  • PSAK tidak mengatur secara spesifik mengenai tatacara menyajian Harga Pokok Penjualan pada Laporan Laba Rugi. Sehingga tingkat detail penyajian HPP bersifat diskresi—diserahkan kepada kebijakan pihak manajemen, yang penting andal dan relevan.
  • PSAK tidak mengatur apakah perusahaan jasa sebaiknya menyajikan atau tidak menyajikan Harga Pokok Penjualan. PSAK 1 paragraf 101 hanya menyebutkan bahwa, entitas minimal harus menyajikan “biaya penjualan” yang terpisah dari biaya-biaya lainnya.
  • Mayoritas perusahaan yang masuk kelompok usaha (KLU) “Jasa”, pada praktenya tidak murni jasa, melainkan kombinasi jasa dengan dagang. Perusahaan jasa seperti ini, meskipun KLU-nya “jasa”, kenyataannya memiliki barang persediaan, sehingga sudah seharusnya menyajikan Harga Pokok Penjualan pada Laporan Laba Ruginya.
  • GAAP mengenal istilah “Cost of Revenue” yang disajikan terpisah dari biaya-biaya operasional, yang bisa dibilang sebagai “Cost of Goods Sold”-nya perusahaan jasa.
  • “Cost of Revenue” adalah segala pengeluaran yang terkait langsung dengan aktivitas pembentukan dan penyerahan jasa. Masuk dalam kelompok “Cost of Revenue” adalah: komisi penjualan jasa, transportasi, sewa, upah/fee pekerja lepas, tenaga ahli dan profesional, sehubungan dengan proses pembentukan dan penyerahan jasa.
 SUMBER: http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/10/apakah-laba-rugi-perusahaan-jasa-ada-harga-pokok-penjualannya/

Popular Posts