28 January 2013


AkuntansiLaba Rugi Perusahaan Jasa Ada Harga Pokok Penjualannya


Pertanyaan ‘apakah-perusahaan-jasa-menyajikan-harga-pokok-penjualan-pada-laporan-laba-ruginya’ ini, tergolong klasik; sangat sering saya dengar atau baca, sejak 10 tahun yang lalu hingga saat ini—khususnya di kalangan akuntan dan pegawai accounting pemula yang bekerja di perusahaan-perusahaan.
Saya tidak tahu persis, mengapa masih banyak yang bingung antara menyajikan atau tidak menyajikan harga pokok penjualan, pada laporan laba rugi perusahaan jasa. Untuk sementara, saya memperkirakan karena sampai saat ini standar akuntansi keuangan kita (SAK) tidak mengatur hal ini secara khusus dan rinci.
Sehingga, rasanya wajar kalau Mas Unyu, yang tergolong pemula, masih bingung. Dan sangat mungkin masih banyak Mas Unyu-Mas Unyu lainnya di luar sana. Itu sebabnya mengapa saya luangkan waktu untuk menulis artikel ini, di tengah-tengah kesibukan menjelang tutup buku.
Saya dedikasikan artikel ini khusus untuk pembaca JAK yang mengalami situasi yang sama seperti Mas Unyu: bingung antara menyajikan atau tidak menyajikan harga pokok penjualan pada laporan laba-rugi perusahaan jasa.

Jawaban Singkatnya

Mungkin anda sibuk, sehingga butuh jawaban singkat.
Sebelum menulis artikel ini, saya sudah coba googling, browse kemana-mana, untuk mendapat jawaban pasti atas pertanyaan dalam judul tulisan ini.
  • Jika saya ranking dan cari modusnya, jawaban yang paling banyak muncul (di blog-blog dan forum-forum) adalah: “TIDAK ADA HPP PADA PERUSAHAAN JASA”—tanpa disertai penjelasan yang memadai (dapat memuaskan penanya).
  • Menurut saya, bisa jadi “ADA” dan bisa jadi “TIDAK ADA” Harga Pokok Penjualan pada perusahaan jasa—tergantung bergerak di bidang jasa apa, tepatnya. Silahkan baca summary-nya di akhir tulisan ini.
Jika anda punya waktu agak panjang, saya ingin mengundang anda untuk mengikuti tulisan ini secara rinci, hingga tuntas. Namun sebelum lebih jauh mengenai Harga Pokok Penjualan pada perusahaan jasa, ada baiknya jika kita lihat terlebih dahulu: bagaimana Laporan Laba Rugi disajikan, menurut PSAK 1—khususnya mengenai penyajian “beban” (costs and expenses).

Penyajian Laporan Laba Rugi (Khususnya “Beban”) Menurut PSAK1

PSAK 1, paragraf 97 s/d 102, menyebutkan bahwa, entitas (=perusahaan) menyajikan analisis “beban”—yang diakui dalam laba rugi—dengan menggunakan 2 metode pengklasifikasian:
1. Klasifikasi berdasarkan “Sifat Beban” – Pada paragraf 100 disebutkan bahwa, entitas menyajikan klasifikasi beban berdasarkan sifatnya (misal: penyusutan, pembelian bahan baku, biaya transportasi, imbalan kerja, dan biaya iklan). Konon, metode ini lebih mudah diterapkan (namun kurang mampu menyajikan informasi secara handal dan relevan), karena tidak memerlukan adanya alokasi beban menurut klasifikasi fungsional. Contoh penyajiannya (dikutip dari PSAK 1):
Pendapatan                                                                         = XXX
Pendapatan lainnya                                                         = XXX
Perubahan atas persediaan barang jadi-
dan barang dalam proses                               = XXX
Bahan baku yang digunakan                          = XXX
Beban imbalan kerja                                         = XXX
Beban penyusutan dan amortisasi             = XXX
Beban lainnya                                                      = XXX
Total beban                                                                         = (XXX)
Laba sebelum pajak                                                         = XXX
2. Klasifikasi berdasarkan “Fungsi Beban” – Paragraf 101 menyebut ini dengan istilah “metode fungsi beban” atau “metode biaya penjualan”. Menggunakan metode ini, beban diklasifikasikan bedasarkan fungsinya sebagai bagian dari biaya penjualan atau, misalnya, biaya aktivitas distribusi atau administratif. Sekurangkurangnya, menurut standar yang sama, entitas mengungkapkan “biaya penjualan” secara terpisah dari beban-beban lainnya. Contoh penyajian Laporan Laba Rugi dengan menggunakan metode ini (dikutip dari PSAK 1), adalah sbb:
Pendapatan                  = XXX
Beban penjualan        = (XXX)
Laba bruto                   = XXX
Pendapatan lainnya  = XXX
Beban distribusi         = (XXX)
Beban administratif  = (XXX)
Beban lainnya             = (XXX)
Laba sebelum pajak  = XXX

Catatan Khusus Dari Saya

1. Metode kedua lebih banyak digunakan – Menurut pengamatan saya, kebanyakan perusahaan (terutama yang menerapkan sistim persediaan perpetual) menggunakan metode yang kedua. Rupanya, ini memang lebih rekomendasikan oleh PSAK 1, karena dianggap lebih mampu menyajikan informasi yang relevan kepada pengguna laporankeuangan, dibandingkan metode pertama.
2. Mana “Harga Pokok Penjualan (HPP)”-nya? – Jika tidak cukup update, mungkin anda mencari-cari elemen “Harga Pokok Penjualan” dan tidak menemukannya pada kedua contoh di atas. Dalam PSAK terbaru (PSAK nomor berapaun), istilah “Harga Pokok Penjualan” sudah tidak digunakan lagi, diubah menjadi “Beban Pokok Penjualan”. Jika anda baca PSAK 1, anda tidak akan menemukan pembahasan khusus mengenai bagaimana Beban Pokok Penjualan (alias Harga Pokok Penjualan) seharusnya disajikan dalam Laporan Laba Rugi. Karena memang tidak ada.
3. Mana elemen “Biaya Penyusutan, Biaya Gaji, Biaya Administrasi, Biaya Lain-lain”? – Bertahun-tahun belajar akuntansi, tentu anda sudah sangat lekat dengan penggunaan kata “biaya”. PSAK yang baru sudah tidak (atau sangat jarang) menggunakan kata “biaya”. Baik biaya dan beban, pada PSAK yang baru, hanya disebut “beban.” Tidak tahu persis apa alasannya, tetapi saya memperkirakan itu dilakukan untuk mengurangi kerancuan makana dan penggunaan antara kata “beban” (yang dulu sering dianggap sepadan dengan “cost”) dengan kata “biaya” (yang dulu dianggap sepadan dengan “expense”).
Satu pertanyaan yang cukup mengganjal, menurut saya, yaitu:mengapa PSAK tidak membahas, secara khusus dan rinci, mengenai tatacara penyajian harga pokok penjualan?
Entah anda, bagi saya pertanyaan ini cukup menganggu, dan penting untuk dijawab. Bahkan saya menganggap jawaban atas pertanyaan ini bisa jadi modal dasar untuk memahami mengapa bahasa PSAK, kerapkali, sulit diterjemahkan ke dalam pekerjaan para akuntan yang bekerja di dalam perusahaan (bukan akuntan eksternal).

Mengapa Harga Pokok Penjualan (HPP) Tidak Diulas Rinci Dalam PSAK?

Maaf, saya masih menggunakan istilah “Harga Pokok Penjualan” (HPP) karena yakin sebagian besar pembaca belum terbiasa menggunakan istilah “Beban Pokok Penjualan”, dan saya tidak mau pembaca dibingungkan oleh istilah.
Kembali ke pertanyaan di atas: mengapa PSAK tidak mengulas, secara khsusu dan rinci, mengenai tata cara penyajian HPP?
Yang paling tahu jawabanya sudah pasti Dewan Standar Akuntani Keuangan (DSAK) kita, bukan saya atau anda. Tetapi saya memandangnya seperti ini:
  • Pertama, Laporan Keuangan dibuat untuk kepentingan para pihak di luar perusahaan (pemegang saham, calon pemegang saham, kreditur, dan ditjen pajak). Para pihak di luar perusahaan ini, dalam PSAK, disebut sebagai “pengguna laporan keuangan”—sedangkan manajemen perusahaan dianggap sebagai “bukan pengguna”, melainkan “pembuat laporan” (istilah literaturenya “pembuat asersi”).
  • Kedua, PSAK disusun untuk satu tujuan saja, yaitu: melindungi kepentingan “pengguna laporan keuangan”—supaya laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen perusahaan bisa memberi informasi yang andal dan relevan bagi mereka (bukan bagi orang dalam perusahaan itu sendiri). Tak lebih dan tak kurang.
  • Ketiga, saya memperkirakan, PSAK menganggap bahwa, “pengguna laporan keuangan”—yang nota benanya adalah pihak luar perusahaan—tidak membutuhkan penyajian harga pokok penjualan secara rinci, cukup disajikan seperti dalam contoh.
Dari ketigas asumsi dasar di atas, bisa kita lihat dengan jelas mengapa bahasa PSAK lebih sering (bahkan selalu) ditujukan untuk para akuntan eksternal. Perspektif yang digunakan oleh PSAK adalah perspektif luar perusahaan. Semua pembaca PSAK dianggap sebagai akuntan eksternal (bukan internal perusahaan). Itu sebabnya, mengapa PSAK sering membingungkan bagi pihak internal perusahaan.
Saran saya (untuk akuntan internal perusahaan): ketika membaca PSAK, posisikan diri anda seolah-olah seorang akuntan eksternal yang samasekali tidak memiliki kepentingan terhadap urusan internal perusahaan. Dengan begitu, maka isi PSAK akan terasa lebih masuk-akal, sehingga menjadi lebih mudah dipahami.[/box_light]
Khusus mengenai rincian (termasuk penyajian) harga pokok penjualan pada laporan laba rugi, menurut hemat saya, oleh DSAK diserahkan kepada diskresi manajemen perusahaan—karena fungsinya lebih banyak untuk kepentingan analysis internal, dibandingkan eksternal. Bahasa kasarannya “Atur-atur sendiri lah di sana, yang penting andal dan relevan”.
Tentu hal ini bukan hambatan bagi para akuntan ektsernal, karena yang paling penting bagi akuntan eksternal adalah laporan keuangan yang sesuai standar akuntansi, yang melindungi kepentingan pihak luar perusahaan. Tetapi menjadi masalah bagi akuntan internal yang dituntut untuk menyajikan laporan keuangan sesuai standar akuntansi sekaligus bisa menjadi input pengambilan keputusan bagi manajemen—yang seringkali membutuhkan tingkat kerincian yang lebih.
Oke. Cukup pembahasan standarnya. Kita lupakan sejenak standar. Selanjutnya, mari kita fokus hanya pada persoalan utama: apakah laporan laba rugi perusahaan jasa, sebaiknya, ada harga pokok penjualannya atau tidak?

Anggapan Keliru (Dan Membingungkan) Terkait HPP dan Perusahaan Jasa

Ada 2 anggapan keliru dan cenderung membingungkan, sehubungan dengan Harga Pokok Penjualan dan Perusahaan Jasa, yang paling sering saya temukan:

1. Anggapan Keliru: Perusahaan Jasa Tidak Punya Persediaan

Saya masih ingat masa sekolah dahulu, banyak buku pengantar akuntansi yang menyebutkan bahwa:
Jenis perusahaan yang memiliki persediaan hanya perusahaan manufaktur dan dagang, sedangkan perusahaan jasa tidak punya persediaan
Anggapan ini cenderung keliru dan saaaaaaangat memibingungkan :)Mengapa?
Karena pada prakteknya, jenis perusahaan yang “murni jasa” bisa dihitung jari (misalnya: jasa konsultasi hukum, keuangan, pajak, manajemen, audit, penilaian aset/appraisal/aktuaria.) Selebihnya (mayoritas), TIDAK MURNI jasa, melainkan campuran “jasa+dagang”. Sayangnya, ketentuan kode kelompok usaha (KLU)—baik menurut ditjen pajak maupun departemen perindustrian dan perdagangan—tidak menggolongkan satu perusahaan kedalam dua kode jenis usaha berbeda. Misalnya:
  • Jasa Dokter – KLU nya “jasa dokter”, pada kenyataannya rata-rata dokter (terutama yang berpraktek di rumah) sekaligus dagang obat, sehingga usaha jasa yang satu ini punya persediaan obat.
  • Jasa Reparasai (elektronik, komputer, termasuk bengkel) – KLU nya tetap “jasa reparasi”, pada kenyataannya tidak murni jual jasa reparasi, melainkan sekaligus dagang suku cadang (sparepart), sehingga perusahaan jasa ini punya persediaan sparepart.
  • Jasa Penerbangan (maskapai) – KLU nya “jasa penerbangan” (maskapai), pada kenyataannya tidak murni jual jasa angkut penumpang, melainkan sekaligus dagang merchandise dari parfum, kaos, topi, hingga gantungan kunci, sehingga jasa yang satu ini juga punya persediaan merchandise.
  • Hotel/Resort/Villa/Hostel/Motel/Losmen – KLU nya “jasa akomodasi”, pada kenyataannya tidak murni jual jasa akomodasi, melainkan sekaligus dagang makanan dan minuman, snack, dan lain sebagainya, sehingga jasa yang satu ini juga punya persediaan barang
  • Dan masih banyak lagi lainnya—menurut saya mayoritas—yang TIDAK MURNI JASA
Simpulan: tidak benar bahwa perusahaan jasa tidak memiliki persediaan—tergantung jasa apa dulu. Menurut saya bahkan sebagian besar perusahaan jasa, sekarang ini, memiliki persediaan.

2. Anggapan Membingungkan: Tidak Ada Persediaan Berarti Tidak Ada Harga Pokok Penjualan

Apakah pernyataan ini salah?
Tidak salah, tetapi memerlukan penjelasan lebih rinci. Yang benar: harga pokok penjualan (HPP) adalah segala pengeluaran (bukan penggunaan persediaan saja) yang mempengaruhi barang/jasa yang dihasilkan, pada suatu periode.
“Mempengaruhi” dalam hal ini bisa jadi:
  • Membuat KUANTITAS barang/jasa yang dihasilkan menjadi naik/turun—sehingga pada akhirnya mempengaruhi naik/turunnya revenue yang dihasilkan; atau
  • Membuat KUALITAS barang/jasa yang dihasilkan menjadi naik/turun—sehingga pada akhirnya mempengaruhi naik/turunnya revenue yang dihasilkan.
Pertanyaannya: apa saja yang mempengaruhi output barang/jasa yang dihasilkan?
  • Persediaan – Besarnya penggunaan persediaan (bahan baku, penolong, dan barang jadi) yang sudah tentu mempengaruhi output barang yang dihasilkan.
  • Upah Buruh – Besarnya pengeluaran upah buruh (termasuk pegawai tak tetap) yang berpengaruh terhadap output barang/jasa yang dihasilkan.
  • Overhead – Besarnya pengeluaran-pengaluaran yang berpegaruh terhadap output barang/jasa yang dihasilkan, selain persediaan dan upah buruh
Jika saya formulasikan jadinya:
Harga Pokok Penjualan (HPP) = Persediaan Digunakan + Upah Buruh + Overhead
Itu kondisi idealnya. Pada prakteknya, banyak perusahaan yang tidak memiliki persediaan tetapi mengeluarkan upah buruh dan overhead, atau upah buruh saja, atau overhead saja.
Jika upah buruh dan overhead tidak diakui sebagai harga pokok penjualan, apakah kedua beban tersebut diakui sebagai biaya operasional—bersama-sama dengan biaya admin, office supplies, dan gaji pegawai tetap?
Tentu tidak, karena bagimanapun juga upah dan overhead bukan biaya opersional (biaya tetap)—besar kecilnya kedua beban tersebut terkait langsung dengan besar-kecilnya jasa yang diserahkan ke pelanggan.
Lalu diakui sebagai apa? Bingung kan? Ini yang jarang dibahas—sehingga masih menyisakan pertanyaan yang menggantung.
Berikut ini, bagi yang belum pernah dengar, saya perkenalkan “Biaya Penjualan” dan “Cost of Revenue”.

Biaya Penjualan (Bukan Harga Pokok Penjualan) dan Cost of Revenue

Entah mengapa, topik ini jarang dibahas—baik di buku-buku maupun di blog dan forum.
Jika kembali ke PSAK 1, khususnya paragraf 101, disana disebutkan:
Sekurangkurangnya, entitas mengungkapkan ‘biaya-penjualan’ secara terpisah dari beban-beban lainnya.”
Perhatikan kalimat di atas; disana disebutkan ‘biaya-penjualan’ (bukan ‘beban pokok penjualan’). Artinya, sebuah laporan laba-rugi, MINIMAL, menyajikan “biaya penjualan”—terlepas dari apapun jenis usahanya.
Dalam GAAP, ini disebut “Cost of Revenue” untuk perusahaan jasa, yang disajikan terpisah dengan biaya-biaya opersional seperti biaya administrasi, biaya office supplies, dan biaya gaji pegawai tetap. Bisa dibilang, cost of revenue adalah “cost of goods sold”-nya perusahaan jasa.
Pertanyaan: Apa saja yang masuk ke dalam ‘cost of revenue’?
Jawaban: semua pengeluaran yang terkait langsung dengan pembentukan dan penyerahan jasa. Ada-tidaknya pengeluaran ini dipengaruhi oleh ada-tidaknya jasa yang diserahkan. Besar-kecilnya pengeluaran ini terkait langsung denggan besar-kecilnya jasa yang diserahkan ke pelanggan, diantaranya:
  • Komisi penjualan jasa
  • Biaya transportasi untuk menyerahkan jasa (=”delivery cost’).
  • Sewa peralatan atau kendaraan yang timbul akibat aktivitas pembentukan dan penyerahan jasa
  • Upah/fee untuk pekerja lepas, tenaga ahli dan profesional yang dilibatkan dalam proses pembentukan dan penyerahan jasa.
Berikut ini saya sajikan beberapa contoh kasus:
Contoh Kasus#1. Perusahaan Jasa Reparasi – Anda memiliki perusahaan jasa reparasi komputer. Spare part dibeli oleh pelanggan sendiri langsung ke toko spare part, sedangkan perusahaan anda hanya mengerjakan proses reparasi saja. Tetapi anda menggunakan pegawai lepas (freelancer) yang anda bayar per proyek pekerjaan. Disamping itu, anda juga menyediakan uang penggantian bensin setiapkali pegawai lepas datang ke perusahaan anda atau ke tempat pelanggan. Nah, pengeluaran untuk membayar pegawai lepas ini—baik upah maupun uang bensinnya—adalah “Biaya Pendapatan Jasa” (cost of revenue).
Contoh Kasus#2.Perusahaan Jasa Ticketing/Travel Agent – Anda bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang jasa ticketing atau travel agent. Untuk menarik pelanggan perusahaan menyediakan layanan antar tiket dan antar jemput penumpang ke airport. Untuk aktivitas traveling, perusahaan mempekerjakan guide lepas yang dibayar setiapkali mengantar pelancong. Nah, pengeluaran untuk beli bensin setiapkali mengantar tiket dan setiap kali mengantar-jemput penumpang ke airport masuk ke dalam “Biaya Pendapatan Jasa” (cost of revenue). Demikian juga pengeluaran untuk membayar guide lepas, masuk ke ‘cost of revenue’
Contoh Kasus#3. Perusahaan Jasa Konsultasi Manajemen – Anda seorang akuntan yang bekerja di perusahaan konsultasi manajemen. Untuk klien yang tergolong skala besar, anda menyewa tenaga ahli/profesional tertentu yang dibayar per proyek. Untuk kebutuhan presentasi ke klien, perusahaan menyewa peralatan khusus yang harganya terlalu mahal untuk dibeli. Nah pengeluaran untuk membayar tenaga ahli/profesional dan sewa peralatan presentasi ini masuk ke ‘Cost of Revenue’.

Summary

Secara keseluruhan, bisa saya ringkas menjadi sbb:
  • PSAK tidak mengatur secara spesifik mengenai tatacara menyajian Harga Pokok Penjualan pada Laporan Laba Rugi. Sehingga tingkat detail penyajian HPP bersifat diskresi—diserahkan kepada kebijakan pihak manajemen, yang penting andal dan relevan.
  • PSAK tidak mengatur apakah perusahaan jasa sebaiknya menyajikan atau tidak menyajikan Harga Pokok Penjualan. PSAK 1 paragraf 101 hanya menyebutkan bahwa, entitas minimal harus menyajikan “biaya penjualan” yang terpisah dari biaya-biaya lainnya.
  • Mayoritas perusahaan yang masuk kelompok usaha (KLU) “Jasa”, pada praktenya tidak murni jasa, melainkan kombinasi jasa dengan dagang. Perusahaan jasa seperti ini, meskipun KLU-nya “jasa”, kenyataannya memiliki barang persediaan, sehingga sudah seharusnya menyajikan Harga Pokok Penjualan pada Laporan Laba Ruginya.
  • GAAP mengenal istilah “Cost of Revenue” yang disajikan terpisah dari biaya-biaya operasional, yang bisa dibilang sebagai “Cost of Goods Sold”-nya perusahaan jasa.
  • “Cost of Revenue” adalah segala pengeluaran yang terkait langsung dengan aktivitas pembentukan dan penyerahan jasa. Masuk dalam kelompok “Cost of Revenue” adalah: komisi penjualan jasa, transportasi, sewa, upah/fee pekerja lepas, tenaga ahli dan profesional, sehubungan dengan proses pembentukan dan penyerahan jasa.
 SUMBER: http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/10/apakah-laba-rugi-perusahaan-jasa-ada-harga-pokok-penjualannya/


Sebelum ke topik utama, ada baiknya kita lihat terlebih dahulu apa itu perencanaan audit…

Apa itu Perencanaan Audit (Audit Planning) Yang Sesungguhnya?

Proses audit dimulai dari perencanaan audit. Apa itu perencanaan audit?
Saya yakin anda sudah tahu definisi perencanaan audit, tetapi mengetahui definisinya saja jelas tidak cukup. Anda perlu memahami esensinya.
Untuk memahami esensi perencanaan audit, seseorang perlu tahu—sedikit banyaknya—mengenai bisnis KAP. Saya bahas sedikit.
Iya, KAP itu bisnis, bisnis penyedia jasa auditing (assurance services). Orang-orang yang ada di dalamnya bekerja untuk menajalankan strategi bisnis KAP. Ada yang memasarkan (partner/manager/customer services/public relation), ada yang membentuk dan menyerahkan jasa (auditor), dan ada yang mengadministrasikan (back office nya KAP).
Proses audit (mulai dari perencanaan hingga pelaporan dan pemberian opini), jika dipandang dari kacamata bisnis KAP, tiada lain adalah proses pembentukan dan penyerahan jasa audit ke klien. Dibandingkan dengan perusahaan manufaktur, proses audit setara dengan poses produksi dan pengiriman barang ke pelanggan.
Sehingga, layaknya dalam proses produksi barang, setiap proses audit selalu mengkonsumsi:
  • Waktu (opportunity cost) – Waktu yang dihabiskan untuk menalankan proses audit)
  • Tenaga Kerja (labor cost) – Gaji yang dibayarkan kepada auditor dan pegawai lainnya
  • Overhead cost – Biaya-biaya langsung yang timbul akibat proses audit
  • Biaya Operasional (expenses) – Sewa gedung, listrik, telephone, penyusutan, dlsb.
Semua itu adalah beban (cost) yang harus ditanggung oleh KAP, yang jika lebih kecil dari fee audit (pendapatan) maka akan menghasilan “laba” (profit) bagi KAP. Sebaliknya, jika lebih besar dari fee audit yang diperoleh akan menghasilan “rugi” (loss).
Tujuan KAP dibuat BUKAN “untuk menyediakan jasa audit yang bersifat akuntabel dan independent” seperti yang biasa disebutkan dalam teori-teori atau slogan, tetapi untuk menyediakan jasa audit yang bersifat akuntabel, independent, dan menguntungkan.
Untuk itu, setiap proses audit harus dikelola sedemikian rupa sehingga di satu sisi menghasilkan laporan dan opini yang akuntabel dan independent, di lain sisinya harus menguntungkan. Salah satu caranya adalah dengan MEMBUAT PERENCANAAN AUDIT (audit planning).
Sehingga, esensi pekerjaan membuat perencanaan audit adalah: aktivitas mengalokasikan waktu, tenaga kerja dan overhead cost yang timbul dari proses audit, sedemikian rupa, sehingga menghasilkan laporan dan opini yang akuntabel dan independent di satu sisinya, dengan konsumsi waktu, tenaga kerja dan biaya yang seminim mungkin, di sisi lainnya—sehingga overall “menguntungkan.” Mirip seperti proses membuat production planning dalam perusahaan manufaktur.
Dan tujuan utama perencanaan audit adalah: menghemat waktu, tenaga dan biaya yang dikeluarkan di satu sisinya, dengan tetap menjaga kualitas hasil audit di sisi lainnya, dari suatu proses audit.
Tercapai atau tidaknya tujuan tersebut banyak dipengaruhi oleh bagus atau tidaknya perencanaan audit yang dibuat oleh auditor.
Pada kondisi tertentu, di tengah-tengah proses audit, bisa jadi KAP dihadapkan pada pilihan antara ‘menjaga-kualitas-hasil-audit’ dengan ‘penghematan-waktu-dan-biaya’. Dalam kondisi seperti ini, umumnya KAP lebih memilih ‘kualitas-hasil-audit’ dibandingkan menghemat. Karena reputasi adalah di atas segalanya bagi perusahaan jasa macam KAP. Akan tetapi itu pilihan pahit yang tentu saja perlu dihindari sebisa mungkin.
Oleh sebab itu, perencanaan audit harus dibuat secermat mungkin agar waktu dan biaya yang timbul, dalam proses audit, tidak membengkak. Apa kuncinya?

Mengapa Perencanaan Audit Memerlukan Kunjungan dan Observasi?

Kunci dari perencanaan audit yang cermat adalah informasi dan data yang lengkap dan akurat. Tanpa informasi dan data yang memadai, seorang auditor bahkan tidak akan bisa membuat perencanaan audit.
Untuk itu seorang auditor perlu menghimpun data dan informasi yang cukup sebelum membuat perencanaan audit. Teknik pengumpulan informasi dan data yang paling lumrah dilakukan adalah observasi.
Teorinya, observasi dilakukan pada setiap awal proses audit, tepatnya sebelum menyusun perencanaan audit. Pada prakteknya, biasanya, observasi hanya dilakukan pada klien (perusahaan auditee) yang belum pernah ditangani sebelumnya.

Langkah-Langkah Observasi Untuk Perencanaan Audit

Sebagai ilustrasi:
Anda bekerja di KAP sejak beberapa bulan yang lalu. Hari ini anda diberi tugas oleh supervisor; dikirim ke lokasi klien (auditee) baru untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penyusunan rencana audit (audit planning). Apa yang perlu anda lakukan?
Yang menggunakan sumber data observasi saat skripsi, itu bisa jadi modal dasar. Namun perlu disadari bahwa observasi untuk keperluan audit berbeda dengan observasi untuk keperluan riset ilmiah.
Dimana letak bedanya?
  • Jenis Informasi – Observasi untuk riset ilmiah, goal anda hanya memperoleh data, apapun diberikan oleh responden. Sedangkan untuk audit, goal anda adalah memperoleh informasi/data yang anda perlukan—bukan informasi/data yang ingin diberikan oleh perusahaan (auditee).
  • Waktu – Observasi untuk riset ilmiah mungkin waktunya agak fleksibel. Sedangkan untuk audit samasekali tidak fleksibel, anda sudah dipatok deadline yang pasti.
Ada 2 kunci utama agar tugas ini berjalan dengan sukses:
  • Persiapan yang matang; dan
  • Pelaksanaan/eksekusi yang efektif
Kita bahas satu per satu….

Persiapan Sebelum Kunjungan Observasi

Tujuan berkunjung dan melakukan observasi jelas untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Pertanyaannya: Data apa saja yang diperlukan?
Agar proses observasi bisa berjalan lancar, perlu persiapan matang, minimal tahu data apa saja yang diperlukan dan informasi apa yang diperlukan via wawancara.
Para auditor berpengalaman selalu menyiapkan “checklist” untuk setiap interview dan observasi pertama yang mereka lakukan, sehingga bisa menjalankan tugas secara efektif. Berikut tahapan aktivitas yang perlu dimasukan ke dalam checklist sebelum berangkat ke lokasi dan melakukan observasi:
1. Berkenalan dengan wakil manajemen, internal auditor dan audit committee nya perusahaan auditee.
2. Setelah perkenalan, sampaikan kepada mereka mengenai jadwal dan tujuan dari perencanaan audit (audit planning).
3. Perkenalkan petugas yang akan terlibat dalam proses audit, termasuk minta berkenalan dengan orang-orang dari pihak auditee yang diharapkan akan banyak membantu dalam proses audit.
4. Jika klien baru (atau klien lama yang mengalami perubahaan lingkungan usaha yang signifikan), mungkin perlu berkeliling melihat-lihat kondisi operasional dan lingkungan perusahaan auditee—sehingga nantinya sudah tahu bagaimana perusahaan beroperasi, dan di lingkungan seperti apa audit akan dilaksanakan,
5. Jika auditee sudah pernah diperiksa oleh auditor lain sebelumnya (predecessor auditor), periksa status temuan yang pernah terjadi sebelumnya, apa opinini dan atau rekomendasinya, apakah perusahaan auditee pernah mengalami perubahan system/prosedur/kebijakan setelahnya.
6. Tuangkan dan susun perencanaan waktu untuk setiap tahapan/langkah yang akan diambil dalam proses audit.
7. Minta ijin/otorisasi untuk hal-hal berikut ini:
  • Memasuki lokasi perusahaan auditee kapanpun diperlukan
  • Tag nama/kartu untuk melewati gerbang security (jika diperlukan)
  • Tempat/ruang parkir kendaraan yang diperlukan
  • Ruangan untuk bekerja dan koneksi internet atau kabel data yang diperlukan
  • Membuka file dan folder fisik tempat penyimpnanan dokumen/data
  • Password temporal untuk mengakses data dalam file/folder dansoftware akuntansi di dalam komputer
8. Jika auditee adalah klien rutin yang sudah pernah ditangani sebelumnya, buat jadwal pertemuan berkala yang dibutuhkan untuk sesi audit kali ini.
9. Minta diberitahu (oleh pihak auditee) tentang dimana mencari informasi rutin yang mungkin diperlukan selama proses audit—sehingga tidak sering-sering mengganggu auditee.
10. Jelaskan kepada auditee mengenai proses audit yang akan dijalankan, termasuk rencana draft laporan yang akan dikeluarkan, waktu yang tersedia untuk menanggapi hasil temuan audit beserta tindak-lanjutnya, dan jadwal penerbitan laporan final beserta opini yang akan diberikan.
11. Alokasikan waktu yang cukup untuk memberi pihak auditee kesempatan untuk bertanya. Tanggapi pertanyaan auditee seperlunya.
12. Setelah interview (mungkin sehari setelahnya) lakukan follow-up dengan mengirimkan summary hasil interview, termasuk meminta kembali (kepada auditee) data-data yang belum diperoleh saat interview dilakukan sebelumnya.
Tingkat kerincian checklist tergantung masing-masing auditor, yang paling penting auditor tahu persis apa yang diperlukan dan apa yang harus dilakukan untuk memperoleh apa yang diperlukan.

Eksekusi Observasi Yang Efektif

Persiapan yang matang, sebelum berkunjung ke tempat klien, penting. Salah satu cara yang bisa dilakukan dengan membuat checklist seperti di atas.
Tak kalah pentingnya adalah memastikan setiap langkah yang ada di checklist bisa dieksekusi secara efektif. Efektif dalam hal ini, maksudnya:
  • Memperoleh informasi dan data yang diinginkan
  • Setiap langkah yang ada di checklist berjalan seperti yang diinginkan
  • Eksekusi berjalan sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan/direncanakan.
Sepintas lalu mungkin nampak mudah; tiba di tempat klien tinggal mengikuti setiap langkah yang dituangkan di dalam checklist. Pada kenyataannya tidak semudah itu.
Yang sering luput dari perhitungan adalah karakter klien (manajemen, internal auditor dan audit committee). Yang namanya karakter orang, tidak bisa diformulasikan dengan cara apapun.
Kuncinya: PERSUASI.
Auditor yang menjalankan observasi mestilah orang yang mampu mempersuasi auditee untuk menyediakan informasi/data yang dibutuhkan, dalam tenggang waktu pasti yang sudah ditentukan, tanpa menimbulkan kesan buruk. Jangan lupa, auditor—dalam menjalankan tugasnya—membawa nama baik (reputasi) KAP dimana dia bekerja. Gagal mempersuasi klien, tidak hanya bisa menimbulkan kesan kurang profesional, lebih parah dari itu gagal memperoleh data yang diinginkan.
Untuk membuat persiapan, semua orang bisa lakukan. Namun untuk melakukan eksekusi secara efektif, tidak semua orang mampu melakukannya; hanya orang-orang yang menguasai tehnik interview dan persuasi yang mampu melakukannya dengan efektif. Itu salah satu aspek yang membedakan antara auditor yang handal dan tidak handal, antara auditor pemula dan yang berpengalaman.

sumber: http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/12/observasi-dalam-perencanaan-audit-audit-planning/



Bicara prosedur audit sudah pasti scope-nya sangat luas dan kompleks, tak akan cukup di tulis di media online. Tetapi secara garis besar, prosedur audit hanya terdiri dari 7 (tujuh) langkah saja. Di ruang terbatas ini saya akan perkenalkan prosedur dasar audit selangkah-demi-selangkah. Karena audit, saat ini, juga banyak dipakai di wilayah lain (termasuk di IT), maka judul tulisan ini menjadi: Prosedur Dasar Audit Akuntansi Keuangan (selangkah-demi-selangkah.)
Yang namanya perkenalan, sudah pasti tidak akan mendalam dan detail. Semata-mata hanya untuk pengenalan awal. Sedangkan detailnya, saya akan bahas secara bertahap. Idealnya, termasuk insights (tips and trick) dalam menjalankan proses audit yang sesungguhnya di lapangan.
Saya termasuk junior dan baru kemarin sore, masih ada banyak auditor kawakan di luar sana yang sudah kenyang makan asam-gram-nya auditing. Sebenarnya, sayapun ingin menimba pengetahuan dari mereka, sayang saya belum pernah menemukan media/blog yang khusus membahas tips-trick auditing yang sungguh-sungguh didedikasikan untuk membantu junior seperti saya.
Entah karena tidak ada yang memfasilitasi, atau karena para auditor tidak punya cukup waktu (yang ini saya ragu; banyak auditor yg sempat ngeblog soal gossip artis, politik, rajin update status di FB, nge-tweet di Twitter, dll). Atau karena pelit—takut ilmunya habis tercuri? Hahaha.. Mudah-mudahan tidak. Setahu saya ilmu tak akan habis hanya karena dibagi.
Entahlah. Yang jelas, setiap orang punya preference, dan saya menghomati itu. So, we will see what we can do :) Mudah-mudahan ada diantara senior yang sempat membaca JAK dan berkenan ikut sharing pengalaman mereka di sini (setidaknya via ruang komentar).
Kembali ke topic utama; prosedur dasar audit (selangkah-demi-selangkah). Sebelum itu, mengapa laporan keuangan perlu diaudit?

Mengapa Laporan Keuangan Perlu Diaudit?

Secara umum, laporan keuangan perlu diaudit supaya informasi keuangan yang disajikan di dalam laporan keuangan bersifat adil (fair)bagi semua pihak yang berkepentingan (manajemen, pemegang saham, pemerintah, dan kreditur). Kata ‘fair’ dalam hal ini maksudnyaakuratdan tidak bias (tidak disalah-interpretasikan), bapak/ibu dosen di kampus mungkin menggunakan istilah “tidak menyesatkan”.
Apa ukuran “akurat” dan “tidak bias” dalam hal ini?
  • Akurat – Nilai nominal (angka rupiah/dollar/dll) yang tercantum dalam catatan transaksi sesui dengan bukti transaksi, dan perhitungan-perhitungan matematis sudah benar.
  • Tidak bias – perlakuan akuntansi (pengukuran, pengakuan, penyajian laporan), termasuk metode/pendekatan/prinsip/asumsi/constraint, yang digunakan dalam proses akuntansi yang diterapkan, telah sesuai dengan PSAK.
Siapa yang memastikan laporan keuangan telah akurat dan tidak bias? Auditor independent. Mengapa auditor independent? Karena, IDEALNYA:
  • Auditor independent, melalui pelatihan khusus auditing, dianggapmemiliki kompetensi yang cukup untuk melakukan tugas tersebut.
  • Auditor independent, dianggap mampu bersikap dan memberi pendapat yang tidak memihak (bahasa kerennya “obyektif”) mengenai isi laporan keuangan.
Sungguhkah auditor independent memiliki kompetensi yang cukup untuk menjalankan tugasnya? Yup, secara teori dan konsep, meskipun tingkat kemampuan masing-masing auditor tidak sama.
Sungguhkah auditor independent mampu bersikap obyektif dalam bersikap dan memberi pendapat mengenai laporan keuangan yang diperiksa?

Apakah Opini Auditor Independent Benar-Benar Obyektif?

Khusus mengenai “obyektifitas” opini auditor independent, saya pernah di-check-mate oleh senior admin-nya JAK. Dia mengatakan:
Cerita darimana pendapat auditor independent obyektif? Yang namanya pendapat (opinion)—tentang apapun dan oleh siapapun, kan dikemukakan oleh subyek, ya sudah pasti mengandung unsur subyektifitas, dengan kadar yang mungkin berbeda-beda. Termasuk opini yang dikeluarkan oleh auditor, meskipun diberi embel-embel independent”.
Saya cuma bisa nyengir. Jika dipikir-pikir, argument yang dikemukakan kawan admin itu ada benarnya. Tapi, kantaran penasaran maka saya nekat memberi bantahan dengan mengatakan:
Buktinya kita (auditor independent) dipakai, artinya kan pengguna jasa percaya bahwa kita memang obyektif”.
Betul”, kawan admin senior menjawab lagi. “Dasar pertimbangan mengapa shareholders dan klien lainnya menggunakan auditor bukan karena mereka percaya auditor bisa obyektif seratus-persen, tapi karena mereka percaya auditor MASIH lebih obyektif jika dibandingkan dengan yang pembuat assersi (pembuat assersi = manjemen yang membuat laporan keuangan).”
Kepalang basah saya pikir. Saya belum mau menyerah, saya katakan, “Bukan hanya shareholders, Ditjen Pajak (DJP) pun percaya dengan hasil audit kita lho
Kawan admin itu ‘menyergap’ saya dengan pertanyaan, “Memangnya DJP tidak akan melakukan pemeriksaan (kepatuhan) terhadap laporan keuangan yang sudah diaudit oleh auditor independent? Setahuku tetap diperiksa—meskipun tidak seketika saat setor SPT.”
Melihat saya masih agak lama mikir, dia melanjutkan:
Gini aja deh. Mengapa hasil audit yang disampikan oleh auditor independent tidak disebut SURAT KEPUTUSAN atau KETETAPAN atau setidak-tidaknya PERNYATAAN, tetapi malah disebut OPINI?
Saya masih belum sempat menjawab dia sudah melanjutkan lagi:
Karena hasil audit tidak bersifat mengikat. Tidak bersifat mengikat karena auditor, ikatan akuntan, pembuat standard dan publik di lingkungan bisnis secara keseluruhan, menyadari akan adanya unsur relativitas dan uncertainties (ketidakpastian) di dalamnya. Sehingga, batasan OBYEKTIF dalam konteks ini hanya sebatas konvensi dan kesepakatan umum.”
Debat dengan senior yang satu itu memang repot. Ilmunya dia terlalu kompleks. Dan, pemikiran-pemikirannya tidak pernah linear, selalu lateral(berdimensi). Itu salah satu alasan yang membuat saya selalu betah ngobrol berlama-lama dengan dia. Lumayan untuk menambah cakrawala berpikir.
Pertanyaan selanjutnya: bagaimana seorang auditor menjalankan proses audit?

Langkah-Langkah Dalam Proses Audit

Seperti sudah saya kemukakan di awal tulisan, seorang auditor menjalankan proses audit melalui 7 (tujuh) tahapan atau langkah. Yaitu:
  • Langkah-1: Membuat Perencana Audit (Audit Planning)
  • Langkah-2: Mengumpulkan dan Mengevaluasi Informasi Sehubungan dengan Auditee dan Lingkungannya
  • Langkah-3: Memeriksa Risiko Salah-Saji Yang Bersifat Material
  • Langkah-4: Merancang Respon Audit dan Prosedur Audit Lanjutan
  • Langkah-5: Menjalankan Audit Lanjutan
  • Langkah-6: Mengkaji Dan Memeriksa Kembali Hasil (Temuan) Audit
  • Langkah-7: Mengkomunikasikan Hasil (Temuan) Audit
Selanjutnya kita bahas masing-masing langkah tersebut satu-per-satu.

Langkah-1: Membuat Perencanaan Audit (Audit Planning)

Perencanaan audit yang dikenal dengan istilah “audit planning” dimulai dengan mempelajari permintaan (‘pesanan’) dari klien. Berdasarka permintaan ini, auditor membuat rencana kerja audit.
Tingkat kepadatan aktivitas dan waktu yang dibutuhkan dalam fase ini, bervariasi—tergantung apakah auditee (perusahaan yang akan diaudit) baru pertamakalinya ditangani atau sudah kesekian kalinya; perusahaan auditee baru biasanya membutuhkan perencanaan yang lebih banyak, sehingga membutuhkan waktu yang lebih panjang.
Dalam penyusunan rencana audit, ada beberapa faktor yang penting untuk dipertimbangkan oleh auditor, diantaranya:
1. Ekonomi – Secara teori, ada berbagai faktor ekonomi (lokal, nasional, dan internasional), terutama yang dianggap mempengaruhi situasi bidang usaha perusahaan auditee, yang perlu dipertimbangkan dalam penyusunan rencana audit. Namun dalam prakteknya sangat jarang dilakukan—kecuali untuk situasi yang sangat menghebohkan.
2. Bidang Usaha Perusahaan Auditee – Misalnya: bidang usaha perusahaan auditee adalah kontraktor, maka situasi umum bidang usaha perkontraktoran perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan rencana audit. Khusus faktor ini, auditor biasanya menggunakan pengalamannya di perusahaan-perusahaan lain yang sejenis.
3. Aktivitas Bisnis Perusahaan Auditee – Untuk perusahaan auditee baru, ini membutuhkan waktu yang relative lebih lama (dengan tingkat kepadatan aktivitas yang lebih tinggi) jika dibandingkan dengan perusahaan yang sudah pernah diaudit sebelumnya. Pemahaman mengenai aktivitas bisnis perusahaan auditee (khususnya auditee baru) diperoleh melalui berbagai aktivitas, antara lain:
  • Melakukan komunikasi (minta keterangan) dengan auditor sebelumnya, yang dikenal dengan istilah “predecessor auditor”; mengunjungi lokasi perusahaan (terutama dimana fasilitas dan aktivitas utama perusahaan berada);
  • Mempelajari laporan keuangan periode sebelumnya (sebelum dan setelah diaudit) dan laporan interim periode berjalan;
  • Mempelajari laporan auditor sebelumnya (jika sudah pernah diaudit);
  • Mempelajari laporan keuangan fiskal (termasuk SPT) periode sebelumnya;
  • Mempelajari laporan hasil audit pajak (jika sudah pernah diaudit); dan
  • Mempelajari laporan pajak bulanan jika ada.
Selain ketiga faktor utama di atas, auditor juga perlu meminta informasi (keterangan) dari manajemen perusahaan auditee guna memperoleh input yang lebih lengkap. Untuk auditee yang yang sudah pernah ditangani sebelumnya (sudah termasuk pelanggan), auditor biasanya hanya perlu berkomunikasi dengan pihak manajemen, kalau-kalau ada perubahan signifikan sehubungan dengan aktivitas bisnis auditee (misalnya: perubahan kepemilikan, manajemen, wilayah opersi yang diperluas, pengembangan produk baru, penggunaan sumber pembiayaan yang baru, dlsb). Pihak manajemen perusahaan biasanya diwakili oleh “komite audit” perusahaan auditee—yang terdiri dari dewan direksi, eksekutif, dan internal auditor.
Dengan berbagai informasi yang telah dihimpun dan dipelajari, auditor bisa membuat perencanaan audit yang lebih konkret untuk:
  • Meminta surat penugasan (engagement letter) dari klien
  • Menyusun team audit (auditor dan assistant) yang akan ditugaskan (menyangkut jumlah dan kompetensi/level auditor, biasanya managing partner langsung menunjuk nama)
  • Jadwal kerja audit (menyangkut waktu, lokasi, dan obyek yang akan diaudit dan siapa yang akan melaksanakan). Kecuali audit investigasi, ini biasanya disesuaikan dengan kebijakan operasional perusahaan, agar tidak menimbulkan polemic yang tidak perlu selama proses audit nantinya.
  • Budget audit (menyangkut total waktu dan perencanaan biaya yang diperlukan untuk melaksankan keseluruhan kegiatan audit).
Secara keseluruhan, bisa dibilang: disamping penentuan jadwal kerja, esensi audit planning adalah menentukan (dan penyusunan) strategy audit, yang akan diterapkan agar tujuan audit tercapai.

Langkah-2: Mengumpulkan dan Mengevaluasi Informasi Sehubungan dengan Auditee dan Lingkungannya

Mengumpulkan dan mengevaluasi informasi sehubungan dengan Auditee dan lingkungannya adalah aktivitas penting yang harus dilakukan oleh auditor untuk:
  • Mapping awal, sebelum melakukan pemeriksaan terhadap risiko salah-saji dalam laporan keuangan perusahaan auditee.
  • Merancang alur, waktu dan prosedur audit lebih lanjut
  • Membuat penilaian (judgment) awal, mengenai: materialitas, kesesuaian laporan keuangan auditee dengan prinsip-prinsip akuntansi, dan identifikasi awal mengenai wilayah yang memerlukan perlakuan audit khusus.
Fase kedua ini, diidentikan dengan apa yang disebut “Risk Assessment”—yang esensinya tiada lain adalah pemetaan kemungkinan adanya kesalahan dan penyimpangan (dalam obyek audit) lebih dini—sebelum risk assessment sesungguhnya dilakukan (di langkah berikutnya). Prosedur risk assessment di tahapan ini biasanya dilakukan dengan berbagai macam aktivitas, antara lain: meminta susunan kepemilikan perusahaan, susunan manajemen dan strukur organisasi secara keseluruhan, melakukan observasi dan inspeksi.
Melalui risk assessment procedure ini, auditor juga berusaha untuk memperoleh berbagai informasi sehubungan dengan: alur operasi perusahaan, kepemilikan, hubungannya dengan pemerintah, hubungan-hubungan istimewa dengan pihak tertentu, metode pembiayaan (debt/equity) jangka pendek dan panjang, misi dan visi perusahaan, strategi dan manajemen risiko yang diterapkan—yang menjadi dasar pijakan pihak manajemen perusahaan auditee dalam menilai kinerja keuangan perusahaan dan penyusunan sistim pengendalian internalnya.
Dengan melakuan itu semua, auditor bisa memperoleh gambaran awal mengenai asersi ( terdiri dari: saldo akun, kelompok transaksi dan disclosure) yang kemungkinan besar mengandungrisiko-salah-saji’ (material misstatement risk) tinggi.
ASPEK UTAMA, yang wajib masuk dalam petimbangan di tahap ini adalah aspek SISTIM PENGENDALIAN INTERN (Internal control) yang diterapkan di dalam perusahaan auditee.
Tentu. Tidak semua unsur dan aspek pengendalian internal control perusahaan auditee relevan dengan tujuan audit yang dilaksanakan. Pengendalian intern yang dianggap relevan oleh auditor adalah yang diperkirakan berpengaruh terhadap mampu-atau-tidaknya perusahaan auditee untuk membuat laporan keuangan yang sesuai dengan PSAK.
Seperti diuangkapkan dalam COSO Framework, pengendalian intern (internal control) didefinisikan sebagai suatu proses (yang dipengaruhi oleh dewan direksi, manajemen dan pegawai perusahaan) untuk memberikan jaminan akan terwujudunya:
  • Pelaporan keuangan yang handal (reliability of financial reporting);
  • Keefektifan dan efisisensi operasional perusahaan (effectiveness and efficiency of operations); dan
  • Kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (compliance with applicable laws and regulations)
Dalam konteks audit, pengendalian intern terdiri dari 5 komponen, yang saling berubungan satu dengan lainnya, antra lain:
  • Lingkungan pengendalian
  • Pemeriksaan risiko
  • Aktivitas pengendalian
  • Informasi dan komunikasi
  • Pengawasan (monitoring)
Note: lebih detailnya, silahkan baca COSO Framework, yang baru-baru ini (per 2012) mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Karena begitu pentingnya aspek pengendalian intern, dalam proses audit, maka auditor diwajibkan untuk memperoleh pemahaman yang cukup mengenai setiap penerapan kompenen internal control tersebut, di dalam perusahaan auditee, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pemeriksaan risiko salah-saji dan penyusunan strategi audit lanjutan.
Seperti telah disampikan di atas, untuk pemahaman yang cukup mengenai hal ini, auditor tidak saja meminta “dokumen prosedur dan kebijakan”—yang biasanya mencerminkan sistim pengendalian intern perusahaan auditee, tetapi juga melakukan pengamatan (observasi) dan inspeksi di lapangan untuk melihat apakah prosedur dan kebijakan perusahaan telah dilaksanakan dengan benar dan konsisten. Dalam prose ini, auditor selalu melakukan koordinasi dan komunikasi yang diperlukan dengan pigak internal auditor perusahaan.
Hal terakhir yang dilakukan oleh auditor, dalam fase ini, adalah mengasimilasikan dan mensitesiskan pemahaman semua informasi yang mungkin mempengaruhi proses audit secara keseluruhan—terutama sekali terkait dengan wilayah-wilayah yang dianggap mengandung risiko salah saji yang bersifat metrial.

Langkah-3: Memeriksa Risiko Salah-Saji Yang Bersifat Material (Risks of Material Misstatement)

Laporan keuangan (perusahaan auditee) terdiri dari rangkaian asersi (pernyataan) manajemen sehubungan dengan laba-rugi dan posisi keuangan perusahaan, yang presentasikan dalam bentuk transaksi, saldo akun dan diskolsur.
Menggunakan pemahaman yang di peroleh di langkah pertama dan kedua, auditor melakukan pemeriksaan risiko salah-saji yang bersifat material, baik dalam tingkat asersi yang relevan maupun dalam tingkat laporan keuangan secara keseluruhan.
Risiko salah saji yang bersifat material digolongkan menjadi 2 macam, yaitu:
  • Inherent Risk – Risiko salah-saji yang bersifat inherent alias tidak ada hubungannya dengan pengendalian internal; dan
  • Control Risk – Risiko yang ada hubungannya dengan efektifitas fungsi internal control (dalam hal ini, sistim pengendalian internal perusahaan auditee dianggap mengalami gagal fungsi atau minimal kurang efektif).
Untuk memastikan apakah risiko salah-saji besifat materialmemang ada atau tidakkonkretnya, auditor melakukan pemeriksaan terhadap: transaksi, saldo akun dan disklosur, yang dalam langkah-2 sebelumnya diperkirakan mengandung risiko salah saji yang tinggi. Untuk masing-masing asersi (transaksi, saldo akun dan disklosur), auditor mencari tahu:
  • Apa yang salah (atau tidak sesuai) di sini?
  • Bagaimana kesalahan (atau ketidaksesuaian) itu terjadi?
  • Berapa nominal/rupiah yang terlibat dalam salahan (ketidaksesuaian) itu?
Untuk setiap kesalahan (atau ketidaksesuaian) yang ditemukan—terutama yang bersifat material, seorang auditor biasanya berdiskusi dengan anggota team audit lainnya untuk mengetahui apakah anggota team lainnya menemukan kesalahan (ketidaksesuaian) yang sejenis (dengan pola/modus sejenis juga) atau tidak.
Jika iya, maka auditor biasanya mulai mencurigai adanya unsur kesengajaan di dalamnya, yang bisa saja mengarah ke tindakanfraud. Bila diperlukan (dan diminta oleh klien), maka team auditor bisa meminta bantuan team auditor khusus (yang memiliki komepetensi dan sertifikasi khusus) untuk melakukan investigasi fraud, yang biasanya dilakukan oleh Fraud Examiner (yang bertitel Certified Fraud Examiner = CFE).
Proses lain yang tak kalah pentingnya, dalam fase ini, adalah melakukan identifikasi terhadap apa yang disebut dengan “Significant Risk”, yaitu: risiko yang membutuhkan prosedur audit khusus.
Misalnya: Auditor sedang melakukan audit terhadap perusahaan kontraktor. Dalam perusahaan kontraktor, wilayah pengakuan pendapatan-dan-biaya cenderung mengandung risiko salah-saji yang tinggi. Dalam kondisi demikian, auditor bisa memutuskan bahwa wilayah pengakuan pendapatan-dan-biaya membutuhkan prosedur audit khusus.
Prosedur audit khusus yang dimaksudkan di sini yaitu,  auditor perlu:
  • Melakukan evaluasi terhadap rancangan sistim pengendalian yang mestinya bisa mencegah risiko tersebut (sering disebut “control test” saja); dan
  • Melakukan prosedur substantive (sering disebut “substantive test” saja), yang memiliki tautan jelas dengan risiko yang dimaksud.
(Catatan: kita akan bahas ini di fase berikutnya, langkah-4).
Sayang, ruang ini tidak cukup untuk menampung semua langkah yang diperlukan dalam audit. Terpaksa harus saya penggal sampai di sini dahulu. Di Bagian kedua (segera) akan saya bahas mengenai langkah berikutnya, yaitu:
  • Langkah-4: Merancang Respon Audit dan Prosedur Audit Lanjutan
  • Langkah-5: Menjalankan Posedur Audit Lanjutan
  • Langkah-6: Mengkaji Dan Memeriksa Kembali Hasil (Temuan) Audit
  • Langkah-7: Mengkomunikasikan Hasil (Temuan) Audit
Di bagian-2 nanti, saya akan lanjutkan sedikit mengenai significant risk, termasuk aspek lain yang mungkin membuat timbulnya significant risk, apa yang harus dilakukan oleh auditor dalam merespon hasil pemeriksaan risiko salah-saji yang bersifat material, bagaimana menjalankan prosedur audit lanjutan, mengevaluasi dan memeriksa kembali hasil audit, dan mengkomunikasikan hasil temuan audit. Untuk sementara, bersabar dahulu. Sampai bertemu di bagian kedua dari seri pengenalan prosedur audit ini.

sumber: http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/04/prosedur-dasar-audit-akuntansi-keuangan-selangkah-demi-selangkah/

Popular Posts