Publikasi: Majalah Alia No. 08 Tahun IV, Februari 2007, dengan judul
Apa Tuntunan Islam Mengenai Wanita Bekerja?
Muslimah berkarier? Mengapa tidak. Memang sih,
pada prinsipnya wanita muslimah tidak diwajibkan bekerja mencari
nafkah. Kewajiban itu ada di pundak suaminya atau –jika belum bersuami-
menjadi tanggungjawab ayah atau walinya. Ini sesuai aturan yang tertera
dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 233: “Adalah kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada ibu anak-anaknya sewajarnya (bi l-ma'ruf).” Ayat lain menegaskan: “Laki-laki adalah qawwamun
(pemimpin, penanggungjawab, penjaga) bagi kaum wanita, karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka...” (QS an-Nisa 34). Demikian pula sabda Rasulullah
SAW kepada para sahabatnya: “Kalian wajib memberi mereka (kaum wanita)
makan dan pakaian menurut yang patut” (HR Imam Muslim dari Jabir bin Abdullah ra).
Berkarier di
sini maksudnya bekerja di luar rumah. Kita tidak mempersoalkan aktivitas
yang dikerjakan tanpa perlu keluar dari rumah, sebab hal ini tentu saja
lebih utama, sesuai firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-Ahzab
ayat 33: "Hendaklah kaum wanita tetap di rumahnya dan janganlah kamu
berhias dan bertingkahlaku seperti orang -orang jahiliyah dahulu."
Dalam kehidupan
sehari-hari sering kita jumpai kondisi di mana seorang wanita terpaksa
mencari nafkah. Hal ini sebenarnya bukan baru dan tidak terjadi di zaman
sekarang saja. Simaklah kisah dua putri Nabi Syuaib yang tersebut dalam
al-Qur’an surah al-Qashash ayat 23: Maka tatkala ia (Nabi Musa
alayhissalam) sampai di sumber air negeri Madyan, dilihatnya sekumpulan
orang sedang berebut mengambil air untuk minum (ternak mereka). Dan
dilihatnya di belakang kerumunan orang itu, dua orang wanita tengah
menambat ternaknya (berdiri menunggu). Berkatalah Musa: "Sedang apa
kalian berdua?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu selesai memulangkan
(ternaknya). (Kami melakukan pekerjaan ini) karena bapak kami sudah
lanjut usia."
Episode singkat
di atas menarik dicermati. Dalam ayat tersebut tersirat tuntunan yang
mulia tentang bagaimana seorang wanita bekerja di luar rumah. Di sana
ada adab dan syariat yang membolehkan wanita bekerja di luar rumah.
Ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita. Dari kalimat ini kita menjumpai adab:
1. Wanita tersebut tidak sendiri melainkan berdua dengan saudara perempuannya dalam hal ini adalah mahramnya. Hal ini juga dipertegas dalam tuntunan Rasulullah saw dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: “Perempuan tidak boleh bepergian kecuali didampingi oleh mahramnya” .
2. Menghindari bercampur-baur (ikhtilath)
dengan laki-laki non -mahram. Kedua wanita ini lebih mau menunggu lama
dan rela mendapat giliran terakhir daripada berdesak-desakan dengan
laki-laki (bandingkan dengan kondisi naik angkutan umum di kota-kota
besar). Dalam kisah tersebut sangat jelas bagaimana kedua perempuan
tersebut menjaga diri mereka dari bercampur baur dengan lelaki yang
bukan muhrimnya.
3. Dengan
berada di bagian belakang dan menunggu hingga semua lelaki yang sedang
meminumkan ternaknya itu pulang terlebih dahulu, kedua wanita mulia itu
juga terhindar dari kemungkinan dilihat atau saling memandang (ghadhdhul bashar). Hal ini juga sesuai dengan Al-Qur’an surah An-Nuur : 31 yang berbunyi, „Katakanlah kepada wanita yang beriman ‚Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya“.
Begitu juga diriwayatkan oleh Said bin Musayyab bahwa Ali bin Abi
Thalib pernah bertanya kepada Fatimah ra tentang bagaimanakah wanita
yang baik. Fatimah menjawab: „wanita yang tidak mau melihat lelaki dan
tidak mau dilihatnya“.
4. Mesti ada alasan kuat yang menyebabkan seorang wanita boleh bekerja di luar rumah: „karena bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya."
Di sini dapat kita lihat bahwa seorang muslimah boleh saja bekerja di
luar rumah jika seandainya ayah atau suami mereka tidak sanggup lagi
untuk menafkahi mereka. Hal ini juga sejalan dengan kisah dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim: Zainab, istri Abdullah
bin Mas'ud, berkata: "Pernah ketika aku berada di masjid, aku bertemu
Nabi saw. Beliau bersabda: 'Bersedekahlah kalian (hai kaum wanita)
meskipun dengan perhiasan kalian!' Sedangkan Zainab sendirilah yang
memberi nafkah (suaminya) Abdullah dan anak-anak yatim yang dia
pelihara. Zainab berkata: 'Lalu aku pergi menemui Nabi saw. Aku temukan
seorang wanita Anshar berada di dekat pintu masuk rumah Nabi saw. dan
keperluarmya sama dengan keperluanku. Lalu datang Bilal lewat di dekat
kami, maka kami katakan padanya: "(Hai Bilal), tanyakanlah pada Nabi
saw, apakah sah bila aku memberikan nafkah kepada suami dan anak-anak
yatim yang aku pelihara?" Bilal pun masuk dan menyampaikan pertanyaanku
itu kepada Nabi saw. Beliau menjawab: 'Ya, sah, dan baginya dua pahala:
pahala kerabat dan pahala bersedekah.'"
5. Terakhir tentu saja boleh bekerja ke luar rumah dengan seizin dan sepengetahuan orang tua, wali atau suaminya.
Dari
uraian ringkas di atas dapat kita simpulkan bahwa berkarier bagi
muslimah boleh-boleh saja asalkan tidak keluar dari koridor Syariat
Islam seperti tersurat dan tersirat dalam kisah nabi Musa dan kedua
putri Nabi Syuaib tadi. Pertama, memenuhi tata cara pergaulan yang
Islami, yaitu menghindari hal-hal yang bersifat jahiliyyah seperti
bercampur-baur dengan laki-laki asing (ikhtilath), pamer aurat (tabarruj), melembutkan suara dengan maksud memikat hati laki-laki, dan berdua-duaan (khalwat)
dengan non-muhrim yang bisa menimbulkan fitnah. Dan kedua, mendapat
izin orang tua (kalau belum menikah) atau suami, serta menjaga
pandangannya (ghadhdh al-bashar) dan dengan alasan yang tidak bertentangan dengan syariat islam. Wallahu a‘lam.
Frankfurt am Main, 11 November 2006
Ada
2 malam dimana tingkat kemaksiatan begitu tinggi, yang pertama yaitu
malam perayaan tahun baru dan yang kedua adalah malam Valentine. Malam
perayaan tahun baru menduduki peringkat pertama karena meliputi semua
segmen tua, muda, jomlo dan non jomblo, atau dengan kata lain siapa saja
boleh merayakannya, malam perayaan tahun baru ini biasanya diwarnai
oleh acara yang bersifat hura-hura dan tidak ketinggalan juga pesta
miras, narkoba, perzinahan dan aneka rupa kemaksiatan lainnya. Posisi
kedua ditempati oleh perayaan valentine, yang ini hanya dirayakan oleh
yang punya pasangan saja. Konon pada malam ini tingkat hunian hotel
meningkat, begitupun dengan penjualan alat kontrasepsi. Dengan dalih
kasih sayang, para wanita rela melepas virginitasnya pada malam ini.
Urut-urutannya mungkin ada yang seperti ini, awalnya sekedar
bernyanyi-nyanyi dengan lagu-lagu karaoke. Atau, karena hari masih sore
pasangan muda mudi itu jalan-jalan dulu dengan sepeda motor kelilling
kota. Setelah itu, orang bisa percaya bisa tidak bahwa apa yang mereka
lakukan sudah tidak lagi dibatasi oleh norma-norma agama.
Selain
merayakan dengan perzinahan , mereka juga merayakan ritual lainnya
dengan alkohol dan obat-obatan terlarang. Kalau begitu dimana rasa cinta
& kasih sayang mereka pada diri mereka dan orangtua yang telah
berharap banyak pada mereka?, atau inikah potret lumrah remaja di zaman
globalisasi ini?. Globalisasi ataukah GOBLOKLISASI ?.
Menjelang
detik-detik perayaan Valentine di 2009 ini, ingatanku tentang Jakarta
makin menguat. Jakarta adalah ibukota Muslimin terbesar di dunia ini
(sayangnya panggung dzikir dan shalawat masih kalah sama
panggung-panggung musik), dibandingkan dengan kota-kota lain di
Indonesia tingkat kemaksiatan di kota ini paling tinggi, tapi
Alhamdulillah bencana sekaliber tsunami dan gempa bumi tidak terjadi di
ibukota Muslimin terbesar di dunia ini. Menurut salah seorang dai
berdakwah di Jakarta, hal ini terjadi karena di Jakarta banyak terdapat
majelis dzikir dan shalawat sehingga inilah benteng dari kemurkaan
ilahi.
Ada
2 malam dimana tingkat kemaksiatan begitu tinggi, yang pertama yaitu
malam perayaan tahun baru dan yang kedua adalah malam Valentine. Malam
perayaan tahun baru menduduki peringkat pertama karena meliputi semua
segmen tua, muda, jomlo dan non jomblo, atau dengan kata lain siapa saja
boleh merayakannya, malam perayaan tahun baru ini biasanya diwarnai
oleh acara yang bersifat hura-hura dan tidak ketinggalan juga pesta
miras, narkoba, perzinahan dan aneka rupa kemaksiatan lainnya. Posisi
kedua ditempati oleh perayaan valentine, yang ini hanya dirayakan oleh
yang punya pasangan saja. Konon pada malam ini tingkat hunian hotel
meningkat, begitupun dengan penjualan alat kontrasepsi. Dengan dalih
kasih sayang, para wanita rela melepas virginitasnya pada malam ini.
Urut-urutannya mungkin ada yang seperti ini, awalnya sekedar
bernyanyi-nyanyi dengan lagu-lagu karaoke. Atau, karena hari masih sore
pasangan muda mudi itu jalan-jalan dulu dengan sepeda motor kelilling
kota. Setelah itu, orang bisa percaya bisa tidak bahwa apa yang mereka
lakukan sudah tidak lagi dibatasi oleh norma-norma agama.
Selain
merayakan dengan perzinahan , mereka juga merayakan ritual lainnya
dengan alkohol dan obat-obatan terlarang. Kalau begitu dimana rasa cinta
& kasih sayang mereka pada diri mereka dan orangtua yang telah
berharap banyak pada mereka?, atau inikah potret lumrah remaja di zaman
globalisasi ini?. Globalisasi ataukah GOBLOKLISASI ?.
Menjelang
detik-detik perayaan Valentine di 2009 ini, ingatanku tentang Jakarta
makin menguat. Jakarta adalah ibukota Muslimin terbesar di dunia ini
(sayangnya panggung dzikir dan shalawat masih kalah sama
panggung-panggung musik), dibandingkan dengan kota-kota lain di
Indonesia tingkat kemaksiatan di kota ini paling tinggi, tapi
Alhamdulillah bencana sekaliber tsunami dan gempa bumi tidak terjadi di
ibukota Muslimin terbesar di dunia ini. Menurut salah seorang dai
berdakwah di Jakarta, hal ini terjadi karena di Jakarta banyak terdapat
majelis dzikir dan shalawat sehingga inilah benteng dari kemurkaan
ilahi.