24 May 2012

Maha karya penulisan kitab Islam generasi Salaf teramat banyak diciptakan. Imam Suyuthi misalnya, menulis tak kurang 600 kitab. Demikian juga Imam Nawawi di Kitab-kitab itu hanya berupa tulisan tangan dan untuk membacanya butuh keahlian khusus. Jadi, tak semua orang mampu membacanya. Itulah yang disebut manuskrip atau naskah kuno (mahthuthat) Kabanyakan manuskrip (mahthutha) ditulis oleh penulisnya sendiri. Contohnya kitab Al Majmu’ah Al Fatawa, ditulis oleh Ibnu Taimiyah. Tapi ada juga yang ditulis oleh para murid dan sahabatnya, seperti kitab Al Umm. Kitab ini sejatinya bukan tulisan Imam Syafi’i, akan tetapi hasil dikte Imam Syafi’i kepada beberapa muridnya. Mereka adalah Al Muzani, Rabi’ bin Sulaiman Al Buwaiti. Manuskrip adalah bukti atas eksistensi pengetahuan sebuah umat dan dalil atas sebuah peradaban. Tentu, jika manuskrip umat Islam tidak terjaga dengan baik, apalagi musnah atau pindah ke tangan pihak lain, bagaimana hendak menyatakan bahwa umat ini pernah memiliki peradaban cemerlang?” (Hamud bin Abdullah, Direktur Urusan Mahthuthat, Kementrian Urusan Mahthutat dan Pengetahuan Oman) “ Ilmu itu meliputi tafsir, Hadits, fikih, sejarah Islam, dan bahasa. Bahkan umat ini tidak akan benar-benar menjadi umat tanpa “kekayaan itu”,” demikian menurut Bahkan ia berpendapat, menjaga manuskrip adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada yang melakukan, maka semua umat Islam berdosa. Buku-buku (Islam) yang sudah dicetak saat ini, amat sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah manuskrip yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di pelbagai negara. (Syaikh Abdul Aziz Rajhi, Ketua Divisi Kajian Manuskrip di Universitas Umar bin Abdul Aziz Saudi). Doktor Hisam ‘Afanah dari Universitas Al Quds telah mendata jumlah manuskrip yang ia lakukan hingga tahun 1948. Hasilnya, ada 262 juta jilid manuskrip yang masih menumpuk di pelbagai perpustakaan. Belakangan, tersiar kabar bahwa jumlah sesungguhnya mencapai ratusan juta jilid. Kadang, buku-buku yang telah dicetak pun terdapat banyak kesalahan, hingga perlu merujuk manuskrip untuk mengoreksinya. Kasus ini sering terjadi, dimana buku-buku hasil cetak beredar luas tanpa tahqiq atau si muhaqiq (orang yang men-tahqiq) tidak memiliki kemampuan cukup. Hasilnya, buku tersebut beda dengan manuskrip aslinya. Seperti kasus kitab Siyar A’alam An Nubala, karya Imam Dzahabi, terbitan Dar al Ma’arif Mesir tahun 1953. Menurut Syeikh Shu’aib al Arna’uth, di dalam kitab ini terdapat lebih dari seratus kesalahan. Juga terjadi pada buku Al Adzkar karya Imam Nawawi yang diterbitkan Dar Huda, Riyadh, tahun 1984. Syaik Abdul Qadir Al ‘Arnau’uth, muhaqiq kitab tersebut menjumpai kesalahan fatal setelah kitab itu beredar. Ada perubahan judul dan hilangnya beberapa teks. Hingga akhirnya buku tersebut ditarik dari pasar. Demikian juga kitab Dhafar Al Amani, karya Imam Laknawi yang diterbitkan oleh Dar Al Buhuts Emirat, tahun 1995. Menurut Syeikh Abdul Fatah Abu Ghuddah, di dalam kitab ini ditemukan lebih dari 678 kesalahan. Itulah fungsi manuskript sebagai alat acuan penulisan kitab sat ini untuk menghindari penyimpangan/bias kesalahan dari aslinya. Manuskrip pula yang menjadi bukti betapa tingginya peradaban Islam masa lampau. Ia ibarat saksi bisu dari kejayaan Islam. sumber

17 May 2012

Sumber media Israel menegaskan bahwa imperium Amerika akan jatuh dan segera runtuh, dan tanda-tanda tersebut telah muncul pada musim gugur pada dekade pertama abad duapuluh satu. Surat kabar Israel – Yediot Aharonot dalam konteks laporannya tentang tanda-tanda utama dari dekade pertama abad 21 berkaitan dengan kehancuran imperium Amerika – dimulai dengan jatuhnya simbol kekuatan ekonomi, diwakili dengan hancurnya WTC dan jatuhnya simbol militer AS, diwakili oleh runtuhnya markas besar pertahanan AS Pentagon dalam serangan 11 September 2001 – melalui adanya akumulasi defisit fiskal dalam anggara belanja pemerintah AS sebagai akibat dari perang yang tidak henti-hentinya yang mereka lakukan di Irak dan Afghanistan dan adanya krisis ekonomi global yang melanda perekonomian AS selama setahun terakhir. Yediot Aharonot menambahkan bahwa perang di Irak dan Afghanistan sangat merugikan anggaran belanja AS hampir satu triliun dollar, sementara kerugian tidak langsung sudah cukup membuat Washington bertekuk lutut meskipun terdapat surplus besar telah dicapai dalam anggaran selama tahun sembilan puluhan. Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa indikator runtuhnya imperium Amerika lewat ekonomi semakin jelas selama tahun 2009, dengan keseluruhan defisit dalam anggaran sebesar 1,4 triliun dollar dan akan mencapai hingga 9 triliun dollar selama dekade berikutnya. Jatuhnya nilai dollar dan penurunan nilai mata uang AS terhadap mata uang dunia lain membuat AS harus menjual dollarnya dan membeli emas di banyak negara, terutama India, menurut surat kabar berbahasa Ibrani itu. Salah satu tanda lain akan runtuhnya imperium AS adalah runtuhnya hegemoni militer AS – meskipun AS memiliki kekuatan militer dan peralatan militer terbaru dan paling canggih di dunia namun untuk keikutsertaannya dalam berbagai peperangan di berbagai belahan dunia dan ketidakmampuannya dalam menghadapi kelompok-kelompok pejuang seperti Al-Qaidah dan Taliban, menyebabkan militernya runtuh secara tidak langsung. Masih menurut surat kabar Yediot Aharonot – tidak menutup kemungkinan krisis ekonomi berkepanjangan di AS akan mempercepat runtuh dan jatuhnya imperium besar AS terutama dalam kaitannya dengan akumulasi utang pemerintah AS. sumber
Ia merupakan seorang tokoh pejuang anti diskriminasi dan persamaan hak. Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika (Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih yang menimpa kaum Afro-Amerika. ”Saya tahu, masyarakat seringkali membunuh orang-orang yang berusaha mengubah mereka menjadi lebih baik. Jika saya mati dengan membawa cahaya kebenaran hakiki bagi mereka, hal itu akan menghancurkan kanker rasisme yang menggerogoti tubuh Amerika Serikat (AS). Semua itu terserah kepada Allah SWT. Sementara itu, kesalahan atau kekhilafan dalam upaya saya itu semata-mata adalah dari saya sendiri.” Demikianlah pesan terakhirnya dalam buku “Malcolm X”, sebuah autobiografi yang ditulis oleh Alex Harley. Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei 1925 di Omaha, Nebraska, AS, dengan nama asli Malcolm Little. Ibunya bernama Louise Little dan ayahnya Earl Little adalah seorang pendeta Baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association), yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk mewadahi perbaikan hidup bagi orang Afro-Amerika. Semasa kecilnya, Malcolm dan keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah, pelecehan, dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang militan. Tindakan kekerasan yang diterima keluarga Malcolm mencapai puncaknya, saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika Malcolm berusia enam tahun. Kehilangan seorang ayah yang menjadi pelindung, pengayom, sekaligus guru, telah mengubah kehidupan Malcolm menjadi anak yang liar. Sekolahnya putus ketika ia berusia sekitar 15 tahun. Ia pun sering tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dan kegemarannya pada kehidupan dunia hitam, telah membuatnya terjerumus dalam berbagai kehidupan antargeng, narkotika, minuman keras, perjudian, dan pelacuran. Kehidupan seperti ini ia jalani hingga keluarganya pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang kulit hitam Amerika) di New York. Pada usia 20 tahun, Malcolm diajukan ke pengadilan atas kasus pencurian dan ditahan hingga berusia 27 tahun. Seperti layaknya seorang narapidana, banyak keonaran yang dilakukannya semasa di penjara. Berulang-ulang ia harus keluar masuk penjara akibat perbuatan yang dilakukannya. Namun, dari balik tembok penjara ini, dia justru menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri, mulai dari membaca dan menulis di dalam penjara Chalestown State. Kemudian, terjadilah kontak dengan saudaranya, Philbert, melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI). Memilih Islam Berawal dari sinilah Malcolm mengenal NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks pemabuk, eks Kristen, dan eks budak. Selama dalam penjara, Malcolm mengadakan kontak melalui surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi pengikut NoI. Berkat Elijah pula, Malcolm memahami arti ketertindasan dan ketidakadilan yang menimpa ras kulit hitam sepanjang sejarah. Sejak itulah, Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat. Pada hari pembebasannya di tahun 1952, Malcolm langsung pergi ke Chicago untuk bergabung dengan kegiatan NoI. Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri. Setahun kemudian, Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasi pendirian sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid Tujuh (Temple Seven) di Harlem. Dengan bergabungnya Malcolm, NoI berkembang menjadi organisasi yang berskala nasional. Malcolm sendiri menjadi figur yang terkenal di dunia, mulai dari wawancara di televisi, majalah, dan pembicara di berbagai universitas terkemuka dan forum lainnya. Kepopulerannya muncul atas kata-katanya yang tegas dan kritis, seputar kesulitan yang dialami kaum negro, yaitu tentang diskriminasi dan sikap kekerasan yang ditunjukkan kaum kulit putih terhadap kaumnya (kulit hitam). Namun sayangnya, NoI juga memberikan pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat dan utusan Allah. Pandangan tersebut tentu saja bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yang tidak membedakan kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras, serta tidak ada nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Pandangan rasis dari NoI, membuat Malcolm kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak rahmatan lil alamin. Karena hal itu, ia pun memutuskan keluar dari NoI. Bahkan, Malcolm mengatakan, dirinya sering menerima teguran bahwa tuduhan yang dilontarkan kepada kaum kulit putih, tidak memiliki dasar dalam perspektif Islam. Di antaranya, yang memberikan teguran adalah justru dari kalangan Muslim Timur Tengah atau Muslim Afrika Utara. Meski demikian, mereka menganggap Malcolm benar-benar memeluk Islam dan mengatakan jika dia berkesempatan mengenal Islam sejati, pasti akan memahami ajarannya dan memegang teguh ajarannya. Kembali ke Ajaran Islam yang Murni Pada tahun 1964, setelah menunaikan ibadah haji, Malcolm X mendapatkan gambaran yang berbeda atas pandangannya selama ini. Apalagi, setelah berjumpa dengan kaum Muslimin dari seluruh dunia, dari berbagai ras, bangsa, dan warna kulit yang semua memuji Tuhan yang satu dan tidak saling membedakan. Malcolm berkata, ”Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.” Kata-kata ini sebagai bukti bahwa dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi el-Hajj Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci. Kebenaran Islam telah menunjukkan kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim. ”Saya melihat hal yang tidak pernah saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas dan mau bersaudara dengan orang negro,” ujarnya. Malcolm X akhirnya mendirikan Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York. Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali [Muslim Kulit Hitam]). Namun, ia tak sempat lama menikmati usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21 Februari 1965, saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York, Malcolm X tewas ditembak oleh tiga orang Afro-Amerika. Sebuah kelompok yang dia perjuangkan tentang nilai-nilai dan hak-hak warga kulit hitam. Tak ada yang tahu, apa motif di balik penembakan itu. Kendati demikian, impian Malcolm X menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis, menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia. Banyak yang menaruh simpati padanya. Bahkan, berkat perjuangannya pula, banyak orang yang memeluk agama Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior, seorang petinju kelas berat yang akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ali. sumber

Popular Posts