13 May 2012

 
 
 
 
Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya
belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?” sang Guru bertanya.
“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk
tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya,” jawab sang
murid muda.
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana
yang diminta.
“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata
Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air
asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.
“Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih
meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.
“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat
tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.”
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa
bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa
asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah
di hadapan mursyid, begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir
danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan
membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin
dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber
air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.
“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”
“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,
membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah
dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai
untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang
dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun
demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang
bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat
tergantung dari besarnya ‘qalbu’(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya
tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu
jadi sebesar danau.”
 
 
 
 
Cerita ini merupakan catatan hidup seorang pemuda tentang kisahnya menghadapi celaan dan godaan ketika menimba ilmu agama. Makin mulia suatu amalan maka makin besar pula tantangan dan rintangannya. Menuntut ilmu syar’i atau belajar agama tentu merupakan amalan yang mulia dan agung kedudukannya, maka demikian pula tantangan dan rintangannya banyak dan besar pula. berikut kisahnya:

Ketika saya memutuskan untuk belajar di pondok Pesantren seusai lulus SMU, sejumlah rintangan saya hadapi. Rasanya kata-kata “panas dan tajam” sudah akrab di telinga saya:

“Paling juga nanti jadi beban keluarga!”

“Mondok di Pesantren, nanti mau kerja dimana?”

“Ingat dong masa depan kamu!”

Kata-kata tersebut saya dengar baik dari orang lain maupun dari orang-orang dekat [baca: keluarga dan karib kerabat]. Intinya bisa disimpulkan dari perkataan-perkataan tersebut bahwa orang yang belajar di pondok Pesantren atau orang yang fokus belajar agama adalah orang yang tidak memiliki masa depan yang cerah, identik dengan kemiskinan atau dengan kata lain termasuk generasi madesu (masa depan suram).

Awalnya perkataan-perkataan itu mempengaruhi saya, apalagi syaithan turut pula membisikan dan menggambarkan suramnya masa depan orang yang fokus belajar agama. Tapi Alhamdulillah dengan izin Allah, semua perkataan itu tidak menghalangi saya untuk meneruskan tekad saya untuk belajar di pondok Pesantren walau dengan sedikit kegalauan dan kecemasan di hati, karena saya yakin bahwa rezeki di tangan Allah dan Dialah yang mengatur semua rezeki makhluk dan Dia pasti menolong hamba-Nya yang berusaha mempelajari agama-Nya dan mendakwahkannya.

Tibalah saya di dunia Pesantren, dunia ilmu syari. Di sana saya bertemu dengan orang-orang dari berbagai suku dan berbagai karakter, merekalah yang menjadi teman saya berbagi suka dan duka bersama mengarungi dunia Pesantren dengan berbagai lika-likunya. Ketika saya menceritakan kepada mereka tentang tantangan yang saya dapati sebelum masuk Pesantren, ternyata mereka juga merasakan apa yang saya rasakan, alhamdulillah ternyata saya tidak sendirian, saya menjadi terhibur.

Kemudian setelah beberapa tahun di Pesantren, Allah memberikan saya kesempatan untuk belajar di sebuah universitas islam di Jakarta. Di sana saya belajar bahasa Arab dan ilmu Syariah, Alhamdulillah sampai saat ini semuanya lancar, kemudahan demi kemudahan saya dapatkan. Memang Allah selalu menolong dan memberi kemudahan bagi hamba-hamba-Nya yang ingin menjalankan ketaatan kepada-Nya, diantaranya yang ingin mempelajari agama-Nya ini.

Tapi setelah beberapa waktu mengarungi dunia ilmu syari ini, timbul lagi bisikan-bisikan syaithan untuk membuat saya ragu dan goyah dengan pendirian saya selama ini. Sebenarnya bisikan-bisikannya sudah usang, sama seperti bisikannya yang dulu, hanya saja sekarang syaithan melengkapi bisikannya dengan data dan “fakta yang meyakinkan”. Ia membisikan:

“Untuk apa kamu terus belajar agama? Nanti makin susah hidup kamu!”

“Coba kamu pikir dulu sebelum melangkah lebih jauh! “

“Lihat teman kamu yang bersama kamu dulu di pondok, bagaimana keadaannya sekarang? Setelah menjadi ustadz ia malah kerepotan menghidupi keluarganya!”

“Dan coba kamu lihat yang lain lagi, contoh ustadznya fulan, bagaimana hidupnya sekarang? Sudah anaknya bertambah dan istrinya sakit-sakitan, eh sekarang dikejar-kejar tagihan kontrakan rumah!”

“Kamu mau seperti mereka?!”

“Coba kalau kamu lihat Si A, teman SMU kamu dulu. Dia tidak belajar agama, bagaimana hidupnya sekarang? Dia sudah bekerja di sebuah perusahaan, sekarang dia sudah memiliki motor sendiri, enak bisa pergi kemana-mana bukan?”

“Coba lihat lagi teman SMU kamu dulu, contohnya Si B, dia sudah menjadi PNS, walaupun gajinya kecil tapi di masa tuanya mendapatkan tunjangan pensiun, enak dan lebih aman bukan?”

“Mereka itu bisa begitu karena tidak belajar agama!”

“Coba seandainya kamu dulu tidak belajar agama, tentu sudah seperti mereka!”

“Nah, kamu sekarang terus belajar agama, kamu pasti akan miskin, sengsara, menderita!”

Tidak, kamu dusta! Kulawan syaithan itu.

Apakah benar belajar agama menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan?!
Lantas bagaimana dengan firman-Nya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu (syar’i) beberapa derajat. ” (QS. Al-Mujadalah [58] : 11) ?!

Bagaimana pula dengan dua orang bersaudara di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang satu menuntut ilmu kepada Nabi sedangkan yang lainnya bekerja, maka orang yang bekerja ini mengadukan kepada beliau tentang saudaranya yang tidak bekerja akan tetapi belajar kepada beliau, maka apa kata beliau? Beliau berkata kepada orang yang mengadukan saudaranya ini, “Bisa jadi kamu akan mendapat rezeki disebabkan saudaramu (yang belajar) ini.” (HR.Tirmidzi), maka bagaimana jawabanmu terhadap hadits ini?!

Dan bagaimana pula dengan ucapan Imam Asy-Syafi’i, “Siapa yang menginginkan Dunia, maka hendaknya ia menuntut ilmu (syar’i) dan siapa yang menginginkan Akhirat maka hendaknya ia menuntut ilmu (syari).” Apa jawabanmu terhadap perkataan imam ini?!

Masih banyak lagi ayat, hadits dan ucapan ulama yang membantahmu, wahai syaithan!

Adapun data dan “fakta” yang kamu sebutkan tadi, yaitu orang-orang yang “sengsara” setelah mempelajari agama, maka aku tanya kepadamu, apakah kamu mengetahui perasaan yang mereka sembunyikan? Apakah kamu mengetahui isi hati mereka? Kalau kamu jawab: "Ya, maka kamu telah berdusta!" Karena itu perkara ghaib (tersembunyi) dan kamu tak mengetahui perkara ghaib.

Bisa jadi fisik mereka “miskin dan sengsara” tapi hati mereka kaya dan bahagia! Berapa banyak orang-orang shaleh, badan mereka terbelenggu di penjara, tapi hati mereka di Surga! Bukankah kamu telah mendengar ucapan Nabi saw kami: “Bukanlah kekayaan (yang sebenarnya) karena banyaknya harta akan tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim) ?!

Maka apa jawabanmu? Kamu pasti tidak bisa menjawabnya dan tak akan bisa menjawabnya, kalau begitu, pergilah kamu dengan omong kosongmu!

Tambahan... cerita tersebut berlaku bagi mereka yang zuhud didalam hidupnya, yang tidak mementingkan harta dunia namun lebih mementingkan akhirat, bagi muslim yang belajar agama dan bertambahnya kekayaan dunia juga banyak sekali, sebut saja pengusaha-pengusaha muslim sukses di dunia, sudah banyak sekali yang saya rasa tidak perlu diceritakan lagi kisah hidupnya
 


Sebagi salah seorang praktisi pendidikan, saya merasa sangat perihatin dengan sistem pendidikan yang ada di indonesia, hal ini dikarenakan tujuan pendidikan belum bisa berhasil secara maksimal dikarenakan sistem pendidikan yang diterapkan di indonesia saat ini.
Pendidikan yang merupakan sebuah acuan keberhasilan bangsa seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk memajukan generasi yang akan datang, tidak seperti saat ini dimana pendidikan hanya sebatas sebagai formalitas belaka yang didalamnya terdapat banyak sekali masalah yang harus kita atasi bersama.
Pendidikan sekarang merupakan pendidikan koruptor, yang didalamnya terdapat banyak sekali kejanggalan dan ketitaksesuaian antara tujuan pendidikan yang seharusnya tercapai. lihat saja ketika Ujian Nasional berlangsusng beberapa lama ini, seluruh siswa dan tenaga pendidik kependidikan berlomba-lomba memberikan nilai terbaik kepada siswanya sehingga menghalalkan dan menggunakan segala macam cara untuk mencapainya. 
Mencontek bukan hal luar biasa yang kita dengar saat ini, bahkan banyak sekali guru yang memberikan jawaban kepada para siswanya, bekerjasama untuk memberikan yang terbaik namun dengan cara yang salah. akankah hal ini akan kita biarkan terjadi??
Tentu saja kita bersama memiliki tanggungjawab dalam hal pendidikan, dalam hal ini saya menyatakan bahwa sistem Pendidikan di Indonesia harus kita ubah dan harus diadakan revolusi besar-besaran untuk menjadikan pendidikan berkualitas dan layak bagi rakyat indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan raktyat.
Adapun bentuk revolusi pendidikan yang saya ajukan adalah sebagai berikut :
  1. Pendidikan harus mengacu kepada pendidikan manusia, untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia di era yang akan datang. selama saya mengenyam pendidikan dari tingkat SD kemudian dilanjutkan ke SMP dan SMA sampai pada bangku perguruan tinggi, saya mendapatkan bahwa banyak sekali pendidikan yang tidak termanfaatkan dalam hidup ini. sia-sia rasanya menghabiskan begitu banyak waktu untuk mencari pendidikan, namun pendidikan yang kita dapatkan justru tidak dapat kita pergunakan dalam kehidupan kita. banyak sekali saya melihat sarjana-sarjana yang tidak dapat menggunakan ijazah mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan kompetensi ijazah yang mereka miliki.
  2. Kurikulum yang diterapkan harus mengacu kepada Kurikulum berbasis Keterampilan, sekarang kita melihat bahwa kurikulm berbasis kompetensi dapat dikatakan telah gagal dalam menciptakan manusia berkualitas. pendidikan tidak dapat digunakan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang layak.
  3. Menghilangkan segala bentuk pemaksaan dan standarisasi pendidikan yang tidak dapat memberikan penilaian menyeluruh terhadap para siswa sehingga dapat menghilangkan adanya tindakan yang tidak sesuai dalam penyelenggaraan evaluasi tersebut.
 Sebenarnya masih banyak sekali hal-hal yang harus segera dirubah khususnya dalam sistem pendidikan yang ada di indonesia, demi menjadikan pendidikan masyarakat yang bekarakter, sejahtera dan makmur.

Popular Posts