Penulis asal Inggris Karen Armstrong mengakui bahwa Islamofobia sudah mengurat akar di kalangan masyarakat Barat. Menurutnya sikap Islamofobia di Barat merupakan dampak dari prasangka buruk terhadap Islam yang sudah dipupuk sejak beratus-ratus tahun lamanya, sejak masa Perang Salib.
Armstrong mengungkapkan hal tersebut dalam acara "Internasional Conference on Islamophobia" di Istanbul pada akhir pekan kemarin. Dalam
konferensi yang dihadiri oleh sekitar 100 cendikiawan, akademisi dan perwakilan LSM dari seluruh dunia itu, dibahas tentang berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam saat ini dan upaya mencari solusi atas persoalan tersebut, terutama yang terkait dengan makin meluasnya sentimen anti-Islam atau Islamofobia dan kesalahan pandangan tentang Islam di kalangan masyarakat Barat.
Armstrong mengatakan, prasangka buruk terhadap Islam yang sudah terpupuk sejak masa Perang Salib itu, makin menguat ketika terjadi serangan 11 September 2001 di AS. Masyarakat Barat makin meyakini bahwa "Islam adalah agama pedang."
Menurut Armstrong, akar dari Islamofobia modern seperti yang terjadi sekarang ini lebih bersifat politis dan dipicu oleh kelompok-kelompok ekstrimis maupun teroris yang mengatasnamakan Muslim. Namun menurut Amstrong, kelompok-kelompok itu sebenarnya sama sekali tidak ada kaitannya dengan Islam maupun kalangan sekular ekstrim di Barat.
Para cendikiawan yang hadir dalam konferensi itu sepakat dengan pernyataan Amstrong bahwa akar Islamofobia sudah mengurat akar jauh sebelum peristiwa Black September. Mereka juga berpendapat bahwa media massa dan kalangan intelektual di Barat memainkan peranan besar dalam penyebaran Islamofobia.
Dalam konferensi itu disebutkan pula bahwa Islamofobia bisa berbentuk serangan secara fisik atau verbal yang langsung diarahkan pada umat Islam, atau secara tidak langsung seperti imej negatif yang kerap dimunculkan oleh media massa. Islamofobia modern makin memburuk akibat adanya kebijakan yang anti-Islam, publikasi dan aktivitas anti-Islam, terutama di daratan Eropa dan AS.
Sekretaris Jenderal Union NGO's of the Islamic World (UNIW), Necmi Sadıkoğlu, mengatakan, Islamofobia bukan hanya menyebabkan munculnya diskriminasi terhadap umat Islam tapi juga akan menjadi ancaman bagi perdamaian dunia. "Konferensi ini diharapkan bisa meningkatkan sensitivitas media massa domestik maupun asing dan bisa menghasilkan solusi untuk mengatasi fenomena Islamofobia ini, " ujarnya.
Agenda Tersembunyi Di balik Islamofobia
Dalam konferensi tersebut terjadi perdebatan seputar kemungkinan adanya agenda tersembunyi negara-negara Barat yang sengaja menghembuskan isu-isu anti-Islam.
Direktur Eksekutif Kashmiri American Council (KAC) Ghulam-Nabi Fai meyakini ada agenda tersembunyi di balik makin meluasnya sikap Islamofobia. Sementara itu, para cendekiawan menuding AS sengaja menciptakan sikap anti-Islam untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan luar negerinya.
Louay M. Safi, Direktur Eksekutif ISNA Leadership Development Center menekankan bahwa Islamofobia merupakan senjata strategis yang digunakan untuk memarginalkan warga Muslim di AS.
"Kalangan neokonservatif di AS meyakini bahwa makin bertambah banyaknya jumlah Muslim di AS merupakan ancaman di masa depan, " ujar Safi.
Para peserta Konferensi menawarkan berbagai solusi untuk menghadapi Islamofobia. Antara lain saran untuk melakukan analisa secara mendalam terkait masalah Islamofobia dan membangun jembatan antara pihak yang mengedepankan perdamaian dengan pihak yang menyebarkan kebencian, termasuk dengan kalangan agama monoteis.
Akademisi Muslim yang kini tinggal di Swiss, Tariq Ramadhan menekankan bahwa warga Muslim juga harus bisa melepaskan dirinya dari "mentalitas sebagai orang yang menjadi korban" dan mampu menerima berbagai kritik. Ia mengingatkan umat Islam bahwa yang terpenting dalam menyebarkan Islam adalah, bahwa Islam adalah agama yang damai.
Sementara Karen Armstrong mengatakan, suka tidak suka, Islamofobia sudah mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara Barat. "Dan kita harus menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap orang hidup berdampingan dengan damai dan harus belajar saling menghormati, " tandas Amstrong.