03 February 2012


Shalat adalah aktivitas ibadah bagi ummat Islam. Shalat yang wajib dalam sehari semalam adalah shalat lima waktu. Wajib artinya bagi ummat Islam yang telah mencapai umur baligh ( 15 tahun atau telah mimpi bersenggama hingga keluar sperma ) maka harus mengerjakannya. Jika tidak mengerjakan perkara yang wajib, yaitu shalat lima waktu, maka akan mendapat siksa dari Allah SWT. Shalat lima waktu tersebut adalah Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh. Karena shalat adalah ibadah fardhu, maka kegiatan apapun yang kita lakukan seperti blogging, kerja di kantor, membajak sawah, bahkan tidurpun, wajib ditinggalkan demi untuk melaksanakan ibadah shalat fardhu. Shalat adalah media untuk mengingat kepada Allah. Jadi aktivitas sehari-hari yang menjenuhkan tenaga dan pikiran, santaikan tenaga dan pikiran untuk sujud mengingat Allah Robbul Izzati.

Posting kali ini tiada maksud sedikitpun untuk menggurui apalagi berniat untuk membuat tersinggung siapapun. Tulisan ini saya maksudkan sebagai peringatan bagi diri saya sendiri agar bisa menjaga amanah dari Allah dan Rosulnya. Amanah yang besar dan berat. Saking pentingnya perintah shalat lima waktu, Allah memanggil langsung Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ mi’roj, hari besar Islam yang rutin diperingati tiap tahun. Jadi tulisan ini sebagai referensi saya sendiri dalam menjaga dan memelihara arti dan makna penting pelaksanaan shalat. Semoga dengan tulisan ini bisa memompa semangat ibadah kepada Allah menuju jalan yang lebih baik.

Saya akan mengutip sebuah keterangan yang diambil dari Kitab Azzawajir Susunan Ahmad Bin Hajar Alhaitami ( bisa anda baca di kitab Irsyadul ‘Ibad Ila Sabilirrosyad ) tentang faedah dan keutamaan melaksanakan ibadah shalat lima waktu sebagai berikut :

Tersebut dalam sebuah hadits : Siapa yang menjaga shalat lima waktu maka Allah akan memberikan anugerah lima kemulyaan:

1. Allah akan menghindarkan orang yang menjaga shalat lima waktu dari kesempitan hidup baik di dunia ataupun akherat. Apakah kita sempit dalam urusan bisnis, urusan rumah tangga dan lain-lain? Jagalah shalat lima waktu maka Allah akan memberikan keluasan dalam segala hal.

2. Dihindarkan dari siksa kubur. Tahu kuburan khan? Yaitu tempat / rumah kita kelak bila nyawa lepas dari badan. Nah di kuburan kita akan tinggal bisa dalam suasana bahagia dan bisa dalam suasana siksa. Tergantung amalnya masing. Jika amal kita baik, maka akan bahagia. Tapi jika amal kita jelek maka sebaliknya kita akan disiksa. Dengan menjaga dan melaksanakan shalat lima waktu maka Allah akan menghindarkan kita dari siksa kubur.

3. Buku amal nanti di akherat akan kita terima dengan tangan kanan. Apa bedanya? Tentu saja jika menerima amal dengan tangan kanan, maka suatu tanda kita akan selamat. Tapi jika menerima dengan tangan kiri, apalagi menerima amal dengan punggung, maka alamat kita tidak selamat di akherat. Naudzubillah Min Dzalik. Mohon perlindungan kita kepada Allah dari hal tersebut.

4. Berjalan di atas shirat dengan secepat kilat. Setiap manusia yang berada di akherat nanti akan menyeberangi sebuah jembatan namanya Shirotol Mustaqiem. Jembatan ini sangat kecil ( dalam suatu riwayat ). Lebih kecil dari rambut kita. Apakah yang bisa kita lakukan untuk bisa selamat menyeberangi jembatan ini? Tiada lain adalah menjaga dan melaksanakan shalat lima waktu.

5. Masuk sorga tanpa hisab. Tanpa perhitungan. Shalat adalah tiang agama. Jika kita melaksanakan shalat berarti kita menegakkan agama. Jika kita tidak shalat maka berarti kita telah merobohkan agama. Begitu sabda nabi. Bila shalat kita baik dikerjakan dengan sungguh penuh khusyu’ kepada Allah, maka bisa mencegah dari perbuatan jelek dan munkar.

Itulah keutamaan shalat lima waktu bagi ummat Islam. Shalat itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa shalat maka hati kita akan gersang melebihi gersangnya gurun sahara. Yuk ummat Islam, jaga dan laksanakan shalat lima waktu dengan benar-benar dan sungguh-sungguh. Semoga kita mampu.
sumber artikel : http://muktiblog.com/pesan-hidup/keutamaan-melaksanakan-shalat-lima-waktu




Didalam Surah Adh-Dhuha Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.” (QS. 93:1-2). Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah swt sampai bersumpah pada kedua waktu itu?. Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa kedua waktu itu adalah waktu yang utama paling dalam setiap harinya.

Pada waktu itulah Allah swt sangat memperhatikan hambaNya yang paling getol mendekatkan diri kepadaNya. Ditengah malam yang sunyi, dimana orang-orang sedang tidur nyenyak tetapi hamba Allah yang pintar mengambil kesempatan disa’at itu dengan bermujahadah melawan kantuk dan dinginnya malam dan air wudhu’, bangun untuk menghadap Khaliqnya, tidak lain hanya untuk mendekatkan diri kepadanya.
Demikian juga dengan waktu dhuha, dimana orang-orang sibuk dengan kehidupan duniawinya dan mereka yang tahu pasti akan meninggalkannya sebentar untuk
kembali mengingat Allah swt, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Zaid bin Arqam ra ketika beliau melihat orang-orang yang sedang melaksanakan shalat dhuha: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat itu dilain sa’at ini lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR Muslim).

Lantas bagaimana tidak senang Allah dengan seorang hamba yang seperti ini, sebagaimana janjiNya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah
dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 5:35). Diakhir ayat ini terlihat Allah menyatakan kata “beruntung” bagi hambanya yang suka
mendekatkan diri kepadanya. Nach.. kalau bicara tentang beruntung tentu ini adalah rejeki bagi kita. Dan satu hal yang perlu kita ingat bahwa rejeki itu bukan hanya bentuknya materi atau uang belaka. Tetapi lebih dalam dari itu, segala sesuatu yang diberikan kepada kita yang berdampak kebaikan kepada kehidupan kita didunia dan diakhirat adalah rejeki. Dan puncak dari segala rejeki itu adalah kedekatan kepada Allah swt dan tentu kalau berbicara ganjaran yaitu kenikmatan puncak yang paling akhir adalah syurga. Oleh karena itu para ulama mengajarkan kita untuk berdo’a tentang rejeki ketika selesai shalat dhuha. Jadi salah satu fadilah (keutamaan) dari shalat dhuha itu adalah sarana jalan untuk memohon limpahan rejeki dari Allah swt.

Disamping itu shalat dhuha ini juga dapat mengantikan ketergadaian setiap anggota tubuh kita pada Allah, dimana kita wajib membayarnya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Setiap pagi setiap persendian salah seorang diantara kalian harus (membayar) sadhaqah; maka setiap tasbih adalah sadhaqah, setiap tahmid adalah sadhaqah, setiap tahlil adalah sadhaqah, setiap takbir adalah sadhaqah, amar ma’ruf adalah sadhaqah, mencegah kemungkaran adalah sadhaqah, tetapi dua raka’at dhuha sudah mencukupi semua hal tersebut” (HR Muslim).

Tetapi yang lebih dalam dari itu lagi adalah shalat dhuha ini adalah salah amalan yang disukai Rasulullah saw beserta para sahabatnya (sunnah), sebagaimana anjuran beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra:
“Kekasihku Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku dengan puasa tiga hari setiap bulan, dua raka’at dhuha dan witir sebelum tidur” (Bukhari, Muslim, Abu Dawud).
Kalaulah tidak khawatir jika ummatnya menganggap shalat dhuha ini wajib hukumnya maka Rasulullah saw akan tidak akan pernah meninggalkannya. Para orang alim, awliya dan ulama sangatlah menjaga shalat dhuhanya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafei’: Tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk
tidak melakukan shalat dhuha”. Hal ini sudah jelas dikarenakan oleh seorang mukmin sangat apik dan getol untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”.

Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita sebagai seorang muslim yang mempunyai tujuan hidup untuk mendapatkan ridhoNya meninggalkan shalat dhuha karena kesibukan duniawi kita kecuali karena kelalaian dan kebodohan kita sendiri.


Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya.[1] Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali.Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)

Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:

Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.[2]

Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan.

Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput[3] “Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. [4]

Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah.

Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”[5]

Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)

Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata,

“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.”[6] Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”[7]

Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah

Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”[8]

[1] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 246, Darul Muayyid, cetakan pertama, tahun 1424 H.

[2] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/304, Mawqi’ At Tafasir.

[3] Ini pendapat Mujahid, As Sudi dan Zaid bin Aslam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/177, Dar Thoyyibah, cetakan kedua, tahun 1420 H.

[4] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/177.

[5] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 245.

[6] HR. Muslim no. 38.

[7] Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 246.

[8] Idem

Sumber: www.muslim.or.id

Popular Posts