28 January 2013

      
Wajib Pajak (orang pribadi atau badan) dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
KEWAJIBAN PEMBAYARAN PAJAK
Mekanisme Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:
  1. Membayar sendiri pajak yang terutang:
    1. Pembayaran angsuran PPh setiap bulan (PPh Pasal 25)
      Pembayaran PPh Pasal 25 yaitu pembayaran Pajak Penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak tersebut setiap bulan.
      Khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang sumber penghasilannya dari usaha dan pekerjaan bebas, pembayaran angsuran PPh Pasal 25 terbagi atas 2 yaitu:
      • Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT).
        Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha penjualan barang baik secara grosir maupun eceran dan usaha penyerahan jasa, yang mempunyai satu atau lebih tempat usaha termasuk yang memiliki tempat usaha yang berbeda dengan tempat tinggal.
        Angsuran PPh Pasal 25 Wajib Pajak OPPT : 0,75% x jumlah peredaran usaha (omset) setiap bulan dari masing-masing tempat usaha
      • Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT).
        Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (OPSPT) adalah Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha tanpa melalui tempat usaha misalnya sebagai pekerja bebas atau sebagai karyawan.
        Angsuran PPh Pasal 25 sebagai Wajib Pajak OPSPT : Penghasilan Kena Pajak x Tarif PPh Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh : 12 bulan.
        Tarif Pasal 17 ayat (1) a UU PPh adalah :
        Lapisan Penghasilan Kena PajakTarif Pajak
        Sampai dengan Rp 50.000.000,-5%
        di atas Rp 50.000.000,- sampai dengan Rp 250.000.000,-15%
        di atas Rp 250.000.000,- sampai dengan Rp 500.000.000,-25%
        di atas Rp 50.000.000,-30%
      Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya pembayaran Angsuran PPh 25 yang terutang diperoleh dari penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif PPh yang diatur di Pasal 17 ayat (1) huruf b Undang Undang Pajak Penghasilan. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh adalah 25%.
      Khusus untuk Wajib Pajak badan yang peredaran bruto setahun sampai dengan Rp 50.000.000.000,- mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU PPh, yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,-
    2. Membayar PPh melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, 22, dan 23, serta PPh Pasal 26).
      Pihak lain disini adalah:
      • Pemberi penghasilan;
      • Pemberi kerja; atau
      • Pihak lain yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah.
      • Penjelasan lebih lanjut mengenai pemotongan dan pemungutan pajak diuraikan lebih lanjut pada bagian Pemotongan/Pemungutan (butir 2).
      • Membayar PPN kepada pihak penjual atau pemberi jasa ataupun oleh pihak yang ditunjuk pemerintah.
        Tarif PPN adalah 10% dari harga jual atau penggantian atau nilai ekspor atau nilai lainnya.
      • Pembayaran Pajak-pajak lainnya:
        • Pembayaran PBB yaitu pelunasan berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
          Untuk daerah Jakarta dan daerah tertentu lainnya, pembayaran PBB sudah dapat dilakukan dengan menggunakan ATM di Bank-bank tertentu.
          Tarif PBB terdiri dari 2 tarif yaitu:
          a. 1/1000 dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
          b. 2/1000, dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) khusus untuk yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,-
        • Pembayaran Bea Meterai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat dilakukan dengan cara menggunakan benda meterai berupa meterai tempel atau kertas bermeterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin teraan.
          Meterai tempel yang terutang untuk dokumen yang menyebut jumlah (kuitansi) di atas Rp 250.000,- sampai dengan Rp1.00.000,- adalah Rp3.000,-.
          Untuk dokumen yang menyebut jumlah di atas Rp1.000.000,- dan surat-surat perjanjian terutang materai tempel sebesar Rp6.000,-.
  2. Pemotongan / Pemungutan Pajak
    Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan. Pihak pemberi penghasilan adalah pihak yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan untuk memotong/memungut, antara lain yang ditunjuk tersebut adalah badan Pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Untuk subjek pajak badan dalam negeri, maka diwajibkan juga sebagai pemotong/pemungutan pajak.
    Adapun jenis pemotongan/pemungutan adalah: PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Pasal 4 ayat 2, PPh Pasal 15 dan PPN dan PPn BM. Penjelasan lebih lanjut dari masing-masing pajak tersebut adalah sebagai berikut:
    1. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan.
      Misalnya pembayaran gaji yang diterima oleh pegawai dipotong oleh perusahaan pemberi kerja. Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk oleh UU Perpajakan sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya maupun yang bukan karyawannya. Wajib Pajak perseorangan dapat juga ditunjuk sebagai pemotong PPh Pasal 21 sepanjang ada penunjukannya dari KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Selain diwajibkan memotong PPh Pasal 21, Wajib Pajak perseorangan bisa juga dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya.
    2. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (seperti penyerahan barang oleh rekanan kepada bendaharawan pemerintah), impor barang dan kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu serta penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
      Pemungutan PPh Pasal 22 ini antara lain adalah:
      • Pemungutan PPh atas pembelian barang oleh instansi Pemerintah;
      • Pemungutan PPh atas kegiatan impor barang;
      • Pemungutan PPh atas produksi barang-barang tertentu misalnya produksi baja, kertas, rokok, dan otomotif;
      • Pemungutan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan dari pedagang pengumpul;
      • Pemungutan PPh atas penjualan atas barang yang tergolong mewah
      Wajib Pajak dapat ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 atau dapat juga sebagai pihak yang dipungut PPh Pasal 22.
    3. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, sewa, dan jasa kepada WP badan dalam negeri, dan BUT.
      Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 23. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 23, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 23 oleh si pihak pemotong tersebut.
      Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 23 atas jasa tertentu (jasa service mesin atau komputer) yang pemotongannya dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
    4. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran berupa deviden, bunga, royalty, hadiah dan penghasilan lainnya kepada WP luar negeri.
      Wajib Pajak baik yang berbentuk perseoranan maupun badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 26.
      Contohnya adalah pemotongan dan penghitungan PPh Pasal 26 atas penghasilan tertentu (royalty) yang dilakukan oleh Wajib Pajak berbentuk badan.
    5. PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
      Pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan sehubungan dengan pembayaran untuk objek tertentu seperti sewa tanah dan/atau bangunan, jasa konstruksi, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan lainnya.
      Yang dimaksud final disini bahwa pajak yang dipotong, dipungut oleh pihak pemberi penghasilan atau dibayar sendiri oleh pihak penerima penghasilan, penghitungan pajaknya sudah selesai dan tidak dapat dikreditkan lagi dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
      Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2), sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat (2). Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 4 ayat (2), maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 4 ayat (2) oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 4 ayat (2) dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut.
    6. PPh Pasal 15 adalah pemotongan Pajak penghasilan yang dilakukan oleh pihak pemberi penghasilan kepada Wajib Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus.
      Wajib Pajak tertentu tersebut adalah perusahaan pelayaran atau penerbangan international, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.
      Wajib Pajak berbentuk badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15, sedangkan Wajib Pajak perseorangan tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 15. Demikian sebaliknya, apabila Wajib Pajak meneriman penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 15 dan pemberi penghasilan (pemberi kerja) juga merupakan pemotong PPh Pasal 15, maka atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak akan dipotong PPh Pasal 15 oleh si pihak pemotong tersebut. Namun, apabila Wajib Pajak menerima penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 15 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang pribadi (bukan pemotong), maka Wajib Pajak tersebut wajib menyetor sendiri PPh Pasal 15 tersebut.
    7. PPN dan PPnBM adalah pemungutan PPN dan PPnBM oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) atau Pemungutan yang ditunjuk (misalnya Bendahara Pemerintah) atas pengkonsumsian barang dan/atau jasa kena pajak.
      Pengusaha Kena Pajak yang ditunjuk untuk memungut PPN dan PPnBM adalah pengusaha yang memiliki peredaran bruto (omzet) melebih Rp 600.000.000,- setahun atau pengusaha yang memilih sendiri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
      Wajib Pajak baik berbentuk perseorangan maupun badan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, wajib memungut PPN dan juga PPnBM (bila barangnya yang diserahkan tergolong mewah) dari pembeli atau pemakai jasanya. Wajib Pajak juga wajib membayar PPN dan PPnBM bila mengkonsumsi barang atau jasa dari Pengusaha Kena Pajak.
    Apabila pihak-pihak yang diberi kewajiban oleh Undang-Undang Perpajakan untuk melakukan pemotongan/pemungutan tidak melakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka dapat dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% dan kenaikan 100%.
PENAGIHAN PAJAK
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak. Tindakan ini dilakukan Apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak(STP), atau Surat Ketetapan Pajak (skp), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka DJP dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal WP tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar.

Adapun jangka waktu proses penagihan sebagai berikut:
  1. Surat Teguran diterbitkan apabila dalam jangka 7 (tujuh) hari dari jatuh tempo pembayaran Wajib Pajak tidak membayar hutang pajaknya.
  2. Surat Paksa diterbitkan dalam jangka 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran apabila Wajib Pajak tetap belum melunasi hutang pajaknya.
  3. Sita dilakukan dalam jangka waktu 2 x 24 jam sejak Surat Paksa disampaikan.
  4. Lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Sedangkan pengumuman lelang dilakukan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatif dalam membayar hutang pajaknya.

SUMBER:http://www.pajak.go.id/content/pembayaran-pajak



Apa (dan bagimana) seharusnya fungsi dan peranan internal audit dalam manajemen risiko? “Pertanyaan yang aneh dan tidak masuk akal”, mungkin ada yang ingin mengatakan demikian. Ya, saya tahu: umumnya ‘risk management’ dan ‘internal audit’ adalah dua bagian yang berbeda dan terpisah di sebagian besar perusahaan—termasuk korporasi. Tetapi saya mau mengatkan bahwa: Fungsi internal audit seharusnya dapat berperanan banyak dalam membantu manajemen perusahaan melakukan mitigasi risiko, guna mencapai tujuan-tujuan strategisnya. Lho koq bisa?
Ya. Internal audit memang TIDAK seharusnya mengambil-alih fungsi manajemen (terutama manajemen risiko—misalnya membuat rencana atau mengambil keputusan-keputusan strategis). Akan tetapi, minimal seharusnya dapat:
1. Memeriksa (assessing) kelayakan program manajemen risiko – Memeriksa dalam artian: mengidentifikasi, melakukan pemetaan (mapping), mengevaluasi, serta memberikan respon bagi setiap kemungkinan potensi risiko yang bisa timbul kapan saja dan di bagian mana saja. Dalam standar profesi internal audit telah disebutkan bahwa internal audit menyediakan jaminan (assurance) mengenai kelayakan administrasi, manajemen risiko dan proses pengendalian terkait. Fungsi ini sudah seharusnya mengikutsertakan pemeriksaan terhadap program manajemen risiko.
2. Memeriksa dan melaporkan praktek mitigasi risiko utama – Internal audit seharusnya juga dapat memeriksa dan melaporkan proses yang dijalankan oleh bagian manajemen risiko (risk management) dalam melakukan mitigasi risiko-risiko utama, terkait dengan operasional perusahaan sehari-hari. Tugas ini, termasuk di dalamnya: membuat dan memutahirkan rencana audit berkala terhadap masing-masing risiko yang telah terjadi maupun yang masih berupa berpotensi—mulai dari rencana pencegahan, tindakan pencegahan, rencana penanganan, tindakan penanganan, serta pencapaian atas rencana mitigasi risiko yang telah dilaksanakan.
3. Memberikan saran, rekomendasi, dan konsultasi mitigasi risiko– Layakanya pemeriksaan, setiap simpulan yang diambil (setelah melakukan pemeriksaan), mestinya disertai saran dan rekomendasi atas apa yang telah ditemukan. Logikanya, di tangan seorang pemeriksa (internal auditor) dibekali rencana (tujuan), hasil pencapaian, alat pengukur, dan hasil evaluasi terkait dengan manajemen risiko. Sehingga, sekalilagi logikanya, internal audit memiliki pandangan yang lebih kompehensif mengenai situasi mitigasi risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Internal audit mestinya bisa menjadi sumber informasi—sekaligus tempat konsultasi bagi manajemen dalam mengimplementasikan program manajemen risikonya.
4. Menjadi advokat, mentor dan inspirator dalam manajemen risiko – Di wilayah lainnya (di luar manajemen risiko), selama ini, internal audit sudah menjadi pihak yang selalu mendengungkan pentingnya pengendalian intern. Bisa dibilang menjadi sponsor utama dalam melakukan trobosan-trobosan penting untuk mengimplementasikan pengendalian intern. Dalam manajemen risiko-pun seharusnya internal audit dapat (diberikan ruang) untuk melakukan hal itu—misalnya: dalam menilai dan menyeleksi vendor guna mencegah petensi risiko, mengevaluasi kebijakan kredit bagi pelanggan guna mencegah potensi risiko—setiap hari setiap saat.
5. Menjadi leader dalam menyusun dan melakukan uji-coba implementasi standar operasi dan prosedur (SOP), terkait dengan manajemen risiko - Khususnya di awal-awal. Memberikan asistensi maksimal dalam mengawal dan menggiring risiko menuju ke garis batas yang masih dapat ditoleransi oleh perusahaan.

Pertanyaannya: Sudahkah ‘internal audit’ menjalankan fungsi dan peranan yang telah saya sebutkan di atas, selama ini?
Sejauh yang saya tahu, BELUM. Sebagian besar manajemen perusahaan dan para eksekutifnya masih mengisolasi fungsi dan pernanan internal audit hanya sebatas pengendalian intern, serta pemeriksaan laporankeuangan ‘thok’!
Bisa saya mengerti. Mungkin ada kekhawatiran bahwa jika peranan dan fungsi internal audit diperluas, akan menimbulkan efek samping. Misalnya:Timbulnya tugas dan wewenang yang tumpang-tindih antara internal audit dengan manajer risk dan jajarannya.
Sejatinya, sepanjang pembagian tugas-dan-wewenang-nya cukup jelas, itu tidak akan terjadi. Yang ada, mitigasi risiko akan menjadi semakin komprehensif, manajemen risiko perusahaan akan semakin tangguh. Logikanya?
Sederhana: kehadiran internal audit—sebagai pendamping manajemen risiko akan membuat pandangan semakin luas dan menyeluruh—mampu melihat ‘the big picture’ opersional perusahaan dari hulu hingga hilir.
Bahkan, internal audit dapat memberikan input-input yang bersumber dari bagian keuangan. Dalam artian, adalah fakta bahwa jangkauan daya jelajah internal audit (di luar manajemen risiko) mampu mencapai hingga ke bagian keuangan. Mereka (internal auditor) memiliki informasi-informasi dan dasar-dasar pertimbangan yang cukup strategis—dibandingkan dengan para pelaksana di bagian manajemen risiko itu sendiri.
Tentunya, kehadiran internal audit di dalam manajemen risiko jangan dipandang sebagai pesaing atau sejenisnya, melainkan mitra strategis untuk meng-GOAL-kan misi di bagian manajemen risiko. Bagi manajemen dan perusahaan secara keseluruhan, ini adalah langkah strategis—membuat kedua fungsi (kendali internal dan manajemen risiko) menjadi duet yang ampuh dalam memitigasi risiko perusahaan. Saya menyebutnya: “double-wings risk mitigation’. Ini akan menekan risiko hingga ke titik terendah.

Mungkinkah ‘Chief Audit Executive’ bertindak selaku ‘Chief Risk Officer’ SEKALIGUS ‘Chief Internal Audit’?
Sangat mungkin, sepanjang posisi rangkap ini tidak membuat obyektivitas internal audit terganggu (misalnya: team internal audit menjadi segan memeriksa team manajemen risiko). Perlu ditekankan bahwa fungsi utama internal audit adalah bertindak selaku mentor, fasilitator serta pelapor—bukan pengambil keputusan. Sepanjang itu bisa dipastikan, kenapa tidak?

SUMBER:http://jurnalakuntansikeuangan.com/2011/09/apa-fungsi-dan-peranan-internal-audit-dalam-manajemen-risiko/

Akuntansi
Akuntansi Biaya - Ragam Metode Costing(cost accounting) termasuk aspek penting dalam dunia akuntansi. Salah satu aktivitas yang paling fundamental dalam akuntansi biaya adalah penentuan biaya (costing)—yang dijadikan sebagai acuan dasar dalam menentukan harga jual produk/jasa. Esensi dari penentuan biaya (costing), tiada lain, merupakan aktivitas memilih dan menjalankan metode costing yang paling sesuai bagi perusahaan—mulai dari pengumpulan data, pengolahan data, hingga penyajian laporan cost bagi pihak management.
Fungsi akuntansi biaya yang terkelola dengan baik, dapat memberikan informasi penting bagi manajemen sehubungan dengan: pengaruh dari penentuan harga jual suatu produk, kecenderunga cost, kinerja per departemen dan perusahaan secara keseluruhan, kapasitas pegawai dan produksi, bahkan berkontribusi besar terhadap penentuan strategi bisnis perusahaan hingga pada derajat tertentu.
Setengah dari alur akuntansi, di dalam perusahaan, ada di wilayah costing. Sehingga, bagi akuntan yang bekerja di dalam perusahaan (terutama manufaktur), kurangnya penguasaan akuntansi biaya adalah masalah serius, lubang kelemahan yang harus segara diatasi jika ingin menjadi akuntan yang handal di luar urusan jurnal-menjurnal dan penyusunan laporan keuangan.
Apakah cost accounting hanya urusan para cost accountant—sehingga mereka yang sudah ada di management/executive level dikecualikan? Justru chief accountant, controller dan CFO-lah yang paling berkepentingan terhadap pemilihan dan penerapan akuntansi biaya di dalam perusahaan yang mereka kelola. Merekalah yang harus menilai, menentukan, mengawasi, mengevaluasi dan mengubah metode costing yang diterapkan—jika dirasa perlu, agar tujuan perusahaan bisa dicapai dengan lebih efektif.
Bagaimana dengan akuntan publik dan para auditor? Merekapun wajib menguasai akuntansi biaya—kecuali bisa menghindar setiap kali diberi tugas memeriksa perusahaan manufaktur. Salah satu proses penting dalam auditing adalah melakukan cross-check terhadap arus uang, arus dokumen dan arus barang. Tanpa penguasaan akuntansi biaya yang mumpuni, mungkin mereka masih bisa memberikan pendapat, tetapi saya yakin judgement yang digunakan untuk mendukung pendapat itu akan sangat lemah.
Cakupan dari akuntansi biaya lumayan luas, tetapi intinya selalu berada di wilayah costing. Dan, seperti sudah saya sampaikan di awal tulisan, esensi dari penentuan biaya (costing) adalah: memilih dan menerapkan metode costing yang paling sesuai bagi karakter opersional perusahaan.
“Sesuai” yang saya maksudkan dalam hal ini adalah: bisa menghasilkan data yang paling akurat dan berdayaguna tinggi bagi proses pengambilan keputusan sehubungan dengan cost.
Ada beragam metode penentuan biaya (costing method) yang bisa diterapkan untuk mengumpulkan dan mengolah data-data cost: mulai dari job costing, process costing, standard costing, target costing, direct costing, dan lain sebagainya. Sehingga, seseorang yang ingin mumpuni dalam akuntansi biaya kudu mahir dalam menggunakan metode-metode tersebut.
Sebagai perkenalan di wilayah akuntansi biaya (cost accounting), saya akan mulai dengan membahas beragam metode costing—beserta kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tetapi sebelum itu, ada hal yang penting untuk saya sampaikan, terutama mengenai pentingnya memilih metode costing yang paling sesuai untuk perusahaan.

Untuk Akuntansi Biaya Yang Lebih Baik, Abaikan Prinsip dan Standard Akuntansi

Rasanya saya tidak perlu lagi membahas mengenai peranan akuntansi di dalam lingkungan binis, semua akuntan rata-rata sudah tahu akan hal itu. TETAPI, dari pengalaman saya mensupervisi bagian accounting dan keuangan di beberapa perusahaan, saya menemukan:
  • Rata-rata, para akuntan sangat jarang berpikir tentang: bagaimana caranya memaksimalkan peranan cost accounting untuk menghasilkan informasi cost yang dapat dijadikan sebagai input dalam proses pengambilan keputusan—yang pada akhirnya dapat mengarahkan operasional perusahaan menuju pencapian tingkat profitabilitas maksimal.
  • Rata-rata, para akuntan hanya berkutat diseputaran masalah mengenai: bagimana caranya agar cost yang dihasilkan dari proses akuntansi biaya dapat dimasukan ke dalam Laporan Keuangan.

Orientasi para akuntan, entah mengapa, sebagian besar masih saja menitikberatkan fokus pada laporan keuangan. Padahal, laporan keuangan hanya setumpuk kertas yang tidak ada artinya bila tidak dapat memberikan informasi yang bersifat incremental bagi pengelolaan suatu binis (entitas).
Saya memperkirakan, hal itu disebabkan oleh kuatnya pengaruh doktrin bawaan sejak di bangku kuliah—yang sedikit-sedikit prinsip akuntansi berterima umum (GAAP), sedikit-sedikit standar akuntansi, seakan-akan dunia ini akan bubar jika prinsip akuntansi dilanggar, dimanapun dan dalam konteks apapun.
Saya menghabiskan 5 tahun untuk meraih gelar sarjana akuntansi, ditambah 1 tahun pendalaman profesi dan belajar kode-etik, belum lagi ditambah bertahun-tahun menghabiskan waktu di KAP. Tanpa standard dan kode-etik, mana bisa menjadi akuntan profesional? Sorry, saya ingin jadi akuntan profesional, bukan pegawai accounting abal-abal yang cuma lulusan SMEA, seperti anda.”
Oh.. hi, hello Mr. Professional Accountant :Dkalau demikian halnya, saya ucapkan goodluck.
Dalam pemahaman saya (mohon dikoreksi jika keliru), PRINSIP dan STANDAR AKUNTANSI adalah petunjuk mengenai cara mengukur, mengakui dan menyajikan laporan keuangan perusahaan, agar fair bagi semua pihak yang berkepentingan—terutama bagi investor/shareholders (mohon ditambahkan jika ada yang kurang).
SEMENTARA, disamping sebagai bahasa bisnis, akuntansi adalah alat (tool) untuk menghasilkan informasi yang bisa digunakan sebagai input dalam pengambilan keputusan bisnis, TERMASUK keputusan-keputusan binis yang diambil oleh management internal perusahaan. Dan, input yang lebih banyak dibutuhkan dalam proses pengambilan keputusan bisnis oleh management perusahaan, adalah informasi-informasi terkait dengan cost atas produk/jasa yang dihasilkan.
Okelah, sebagian akuntan (terutama akuntan publik) sudah pasti orientasinya adalah stakeholders di luar management—terutama shareholdera. Pemeriksaan kepatuhan pelaporan keuangan (auditing), sebagian besar dimaksudkan untuk menilai seberapa “fair” laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan bagi para pemegang saham. Dengan ‘mantra’ yang mungkin lebih familiar: “apakah proses pengukuran, pengakuan dan penyajian informasi keuangan sudah sesuai standard?”
Sampai pada ‘pialang saham’ dan ‘analyst pasar modal’ mungkin masih peduli terhadap angka-angka lapora keuangan—untuk diolah menjadi rasio-rasio keuangan yang bisa digunakan untuk menjaring para pemain bursa saham—dan para pengambil keuntungan jangka-pendek lainnya. Middle-men macam business valuators yang dilibatkan dalam due diligent proses akuisi dan merger, mungkin juga masih peduli.
TETAPI, shareholders (investor yang sesungguhnya) tidak terlalu ambil pusing hal-hal lain, selain dividend. Bagi shareholders, laba-rugi dan retained earning tak lebih dari ASUMSI, PENDAPAT dan INTERPRETASI, yang samasekali USELESS, jika tidak bisa diconvert menjadi kas masuk ke pundi-pundi mereka (dalam bentuk pembagian dividend). Sedangkan audit assignment dibutuhkan hanya untuk 3 alasan: (a) formalitas permintaan Bappepam; (b) shareholders tidak percaya denga assersi management (penyajian laporan keuangan); dan (c) permintaan perusahaan untuk membangun citra kredibilitas—yang tentu saja hanya untuk keperluan public-relation semata. Tidak ada yang bersifat nyata dan incremental.
Boleh jadi profitabilitas capital market meningkat—dari hasil pembangunan citra dan public-relation effort lainnya, tetapi itu hanya akan menjadi angka-angka VIRTUAL belaka JIKA perusahaan TIDAK menghasilkan keuntungan yang nyata dari product market-nya—sehingga yang terjadi dalam aggregate ekonomi (makro) hanya perpindahan angka-angka lembar saham yang samasekali tidak berkontribusi nyata bagi penciptaan nilai tambah (value added) dalam suatu negara, pada wilayah yang lebih luas.
Sehingga, bagi saya (seorang pegawai accounting abal-abal tamatan SMEA)—yang pemahaman akuntansinya tentu masih dangkal, usaha-usaha mengoptimalkan fungsi akuntansi untuk meningkatkan efektifitas dan produktifitas opersional binis, TAK KALAH PENTINGNYA jika dibandingkan dengan usaha-usaha untuk taat dan tunduk tehadap prinsip/standar akuntansi yang ada. Lebih bagus lagi, jika keduanya bisa bersinergi.
Target utama saya, dalam costing, adalah menyediakan informasi cost yang bisa menjadi input bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan oleh manajemen perusahaan. Dan untuk mencapai target itu, seringkali saya harus melakukan tweak dan kustomisasi, membuat hybrid-system yang paling sesuai bagi karakter operasional perusahaan.
Misalnya:
Untuk decision-making yang lebih akurat sehubungan dengan harga dari tambahan unit produk terjual (biasanya harga yang paling mendekati direct cost), saya harus menggunakan incremental cost yang timbul pada setiap tambahan unit produk yang dihasilkan. Nah, jika harus mematuhi standard akuntansi, menggunakan metode penentuan biaya yang hanya mengalokasikan porsi overhead cost ke dalam product cost akan membuat saya kesulitan—meskipun untuk yang tergolong bukan incremental cost.
Dalam konteks yang lebih sempit, demi untuk meningkatkan dayaguna informasi cost yang dihasilkan dari proses akuntansi biaya, dalam banyak hal saya memilih untuk DENGAN SENGAJA mengabaikan prinsip/standar akuntansi yang ada. Khusus di wilayah costing, jika terpaksa, saya memilih untuk menomorduakan GAAP, tidak kenal PSAK, aturan Bappepam, dan regulasi sejenisnya.
Begitulah cara pandang saya mengenai pentingnya proses pemilihan dan penerapan metode costing secara khusus—dan cost accounting dalam cakupan lebih luas, yang lebih banyak berfokus pada pertimbangan: bagimana caranya mendayagunakan cost accounting untuk bisa memberi manfaat maksimal bagi pengelolaan bisnis, ketimbang sekedar bisa memasukan unsur cost ke dalam laporan keuangan.
Selanjutnya, mari kita lihat, satu-per-satu, ragam metode costing—beserta keunggulan dan kelemahannya masing-masing.

Macam Motode Costing Beserta Keunggulan dan Kelemahannya

Secara konsep, ada tujuh metode costing yang paling lumrah digunakan, sesuai dengan karakter perusahaan masing-masing:
1. Job Costing – Job costing melibatkan serangkaian transaksi-transaksi yang mengakumulasikan biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan overhead untuk satu unit aktivitas yang disebut dengan “Job Order” (JO). Metode ini biasanya diterapkan dalam ligkungan manufaktur yang memproduksi barang pesanan—dalam pengertian, design, fitur dan spesifikasi lainya ditentukan oleh pemesan. Untuk masing-masing kategori, cost diakumulasikan melalui serangkian transaksi-transaksi, sebelum di bebankan (charged) ke “Job Order” tertentu.
  • Keunggulan: Sangat bagus untuk menelusuri cost per unit produk, bisa menghasilkan informasi yang lebih akurat, jika dibandingkan dengan metode lain. Job costing disebut-sebut sebagai metode penentuan cost yang paling efektif dan valid untuk mengakumulasikan biaya kesepakatan kontraktual cost-plus.
  • Kelemahan: It requires a large quantity of detailed data collection and data entry, which is expensive. It also runs the risk of including some inaccurate data, which requires expensive control systems to minimize. Furthermore, there may be a significant allocation of overhead costs to each job, which may be inaccurately applied.

2. Process Costing – Lumrah diterapkan pada lingkungan perusahaaan dimana variasi produk yang dibuat sedikit atau bahkan bersifat tunggal—dalam pengertian: jenis barang, ukuran, material, mesin/alat, metode produksi, dan sumberdaya manusia yang digunakan relative sama. Dalam situasi ini, adalah sangat sulit untuk membedakan biaya produk satu-per-satu. Misal: perusahaan refiner (pemurnian), adalah sangat sulit untuk menelusuri biaya yang keluar untuk masing-masing galon minyak yang digunakan. Metode yang paling lumrah dipergunakan untuk menghitung cost per-unit dalam proses costing adalah dengan cara mengakumulasikan semua biaya terkait dengan proses produksi dalam suatu periode, selanjutnya ‘weighted average’ cost per-unit dihitung berdasarkan total total cost terakumulasi tersebut.
  • Keunggulan: Data cost dikumpulkan menjadi satu untuk keseluruhan periode produksi yang kemudian dialokasikan ke volume produksi yang dijalakan dalam satu periode, menghasilan cost per-unit rata-rata yang relative akurat, tetapi tidak seakurat job costing. Metode ini relatif cepat dan memerlukan tenaga yang relative lebih kecil jika dibandingkan metode lain.
  • Kelemahan: Cost per-unit yang dihasilkan adalah cost rata-rata yang tentu saja tidak terlalu akurat. Disamping itu, khususnya saat menentukan volume produksi yang diproses, perusahaan sering menggunakan estimasi—karena sebagian barang mungkin belum benar-benar selesai diproduksi.

3. Direct Costing – Direct cost adalah cost yang terasosiasi langsung dengan perubahan volume produksi. Pengertian direct cost ini, berhubungan erat dengan bahan baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung, tapi tidak dengan mesin. Misal: bahan baku yang digunakan untuk membuat produk dan upah tenaga kerja untuk proses pembuatan barang adalah direct cost, tetapi biaya-biaya sehubungan dengan mesin yang digunakan untuk berproduksi bukan direct cost—karena mesinnya masih tetap di pabrik terlepas dari perubahan volume produksi. Dengan kata lain, overhead tidak diikutsertakan dalam perhitungan costing.
  • Keunggulan: Metode ini biasanya disukai oleh management yang ogah terus-menerus membuat perhitungan cost setiap kali ada penambahan volume produksi—terlebih-lebih jika ada item produk baru. Bagaimanapun juga proses penentuan cost memang mengkonsumsi waktu, tenaga dan pikiran. Jika tidak mau repot membuat costing setiap ada penambahan volume produksi atau produk baru, direct costing memang pilihan yang paling nyaman. Disamping itu, direct costing juga paling ideal saat dipakai untuk menentukan harga termurah yang bisa ditawarkan—dengan harapan dapat menjual lebih banyak, misalnya.
  • Kelemahan: Dalam jangka pendek, penentuan cost (untuk pada akhirnya menentukan harga jual) dengan menggunakan metode direct memang masih bisa, tetapi tidak untuk jangka panjang. Kian lama cost yang dihasilkan akan kian tidak akurat, akibat tidak diikutsertakannya overheda dalam perhitungan costing.

4. Throughput Costing (Accounting) – Metode yang satu ini berfokus pada maksimalisasi kapasitas (orang dan produksi), yang sesungguhnya tiada lain merupakan variasi atau pengembangan dari direct costing. Metode ini mengasumsikan bahwa: selalu ada kemacetan operasional (lumrah disebut “bottleneck operation”) dalam proses produksi—yang menghambat kecepatan (speed) penyelesaian barang. Masalah kemacetan inilah yang kemudian menjadi dasar pertimbangan untuk menentukan barang mana yang sebaiknya diproduksi terlebih dahulu dan mana yang belakangan—karena masing-masing akan menghasilkan tingkat profitabilitas yang berbeda. Pada dasarnya, metode ini hanya mengikutsertakan bahan baku sebagai komponen utama dalam pertimbangan decision-making sehubungan dengan cost, sementara biaya tenaga kerja tidak.
  • Keunggulan: throughput costing bisa meningkatkan profitabilitas dalam jangka pendek secara maksimal, jika perusahaan benar-benar mengelola bottleneck kapasitas (baik fasilitas maupun sumberdaya manusia) dengan baik dan disiplin—sesuai dengan apa yang ditunjukan oleh cost analysis yang dihasilkan oleh metode tersebut—sehingga contribution margin yang paling maksimal bisa dicapai.
  • Kelemahan: Adanya peringkat prioritas (fokus pada produk yang kemungkinan menghasilkan tingkat profitabilitas paling tinggi), dalam jangka panjang akan menimbulka hubungan yang tidak baik dengan pihak pelanggan, yang cepat atau lambat akan menimbulkan masalah yang tak kalah seriusnya dengan profitabilitas—kecuali perusahaan benar-benar bisa hidup hanya dengan memproduksi produk-produk yang memiliki profitabilitas tinggi.

5. Activity-based Costing (ABC) – Metode penentuan cost dengan ABC system dirancang untuk mengarahkan agar setiap biaya overhead yang timbul bisa dihubungkan (atau dikaitkan) aktivitas tertentu untuk suatu produk dan departemen/bagian/seksi tertentu di dalam perusahaan—yang nantinya bisa menjadi sumber informasi utama bagi manajemen untuk mengetahui: di wilayah mana overhead banyak digunakan? Untuk aktivitas apa saja? Dan, untuk produk apa (yang mana)?
  • Keunggulan: Metode costing dengan ABC system adalah jawaban atas kelemahan yang terjadi di direct costing maupun throughput costing. Dengan ABC system, management dapat melakukan kontrol yang lebih baik terhadap overhead, sekaligus dapat mengetahui aktivitas untuk produk mana yang mengkonsumsi overhead lebih banyak.
  • Kelemahan: ABC system memerlukan pemahaman system operasi sekalgus costing dari setiap aktivitas di dalam perusahaan. Disamping itu, penerapan ABC system membutuhkan tenaga, waktu dan komitmen yang tinggi dari semua personel—mulai dari tingkat pelaksana hingga management, dan ini bukan sesuatu yang mudah dicapai. Khusus di system akuntansinya, ABC system memerlukan data base yang luar biasa detail—setup awalnya saja bisa memakan waktu lebih dari satu tahun untuk perusahaan bersakal menengah, belum lagi maintenancenya. Bayangkan, setiap item produk baru pastinya membutuhkan aktivitas yang agak berbeda (meskipun tidak terlalu jauh), menggunakan tools yang berbeda, setup mesin yang berbeda, dan semua itu harus dikonstruksi di data base system. Oleh sebab itu, untuk perusahaan yang aktivitas produksinya tidak terlalu massif (dengan variance produk yang tidak terlalu banyak), saya tidak pernah merekomendasikan penerapan ABC system.

6. Standard Costing – Standard costing termasuk yang cukup populer digunakan. Langkah pertama yang dilakukan dalam menerapkan metode ini adalah dengan menentukan “standard cost”—per satu jenis aktivitas–untuk masing-masing jenis produk yang akan diproduksi. Saya pribadi banyak menerapakan standard cost (yang saya kombinasikan dengan beberapa metode lain). Untuk penerapan standard cost saya menugasi engineer di research & development membuat standard untuk direct labor cost, officer di bagian purchasing—bersama-sama dengan engineer bag produksi—membuat standard untuk penggunaan bahan baku dan bahan penolong, sedangkan standard untuk overhead cost saya tugaskan ke cost accountant. Standard di masing-masing aktivitas tersebut kemudian dijadikan satu oleh cost accountant (bersama-sama dengan enginner di R&D), maka terbentulah Bill of Material (BOM) yang tiada lain adalah “standard cost” per satu jenis barang yang diproduksi. Setiap kali suatu aktivitas dijalankan, akan menimbulkan perbedaan antara standard cost (yang ada di BOM), selisih tersebut saya kanalkan (secara otomatis) ke akun yang saya sebut dengan “variance”—yang sewaktu-waktu bisa saya gunaka untuk menilai tingkat efisiensi dan efektivitas suatu aktivitas, termasuk mengukur profitabilitas produk yang sedang dikembangkan.
  • Keunggulan: Metode standard costing sangat ampuh untuk digunakan untuk melakukan pengendalian cost di semua lini perusahaan. Dengan metode ini, nyaris setiap aktivitas bisa diukur tingkat efisiensinya. Satu-satunya PR follow up yang penting dalam penerapan metode standard costing adalah: mencari-tahu alasan yang menyebabkan timbulnya variance, dan pengalaman saya menunjukan ini bagia yang tersulit.
  • Kelemahan: Standard costing menghabiskan banyak energi dan waktu, khususnya di awal-awal—saat standard di buat. Dan pembentukan standard ini akan terus terjadi setiap ada produk baru yang dikembangkan. Dan Penentuan standard cost seringkali menjadi sesuatu yang tricky—pada titik tertentu para operator/pelsakana dan manager sering dihadapkan pada pilihan antara memenuhi standard atau meningkatkan kwalitas produk yang dihasilkan. Ini membutuhkan resolusi yang benar-benar komprehensive, sehingga tidak perlu timbul tindakan saling menyalahkan ketika variance yang cukup besar muncul ke permukaan di kemudian harinya.

7. Target Costing – Keenam metode costing yang saya sebutkan sebelumnya, semuanya berfokus pada interpretasi data cost setelah terjadi. Target costing menggunakan pendekatan sebaliknya—data cost ditentukan (dipatok) terlebih dahulu untuk kemudian diikuti oleh semua aktivitas di dalam perusahaan. Konkretnya, management—melalui serangkaian proses riset—mempelajari kondisi pasar (baik expektasi customer maupun tingkat kompetisi) terlebih dahulu, untuk menentukan “target cost.” Selanjutnya, produk dirancang mengikuti skema target cost yang telah ditentukan. Mulai dari proses perancangan dan proses produksi yang sesungguhnya, usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi terus dilakukan, sehingga target cost yang diharapkan bisa dicapai. Bisa dibilang, ini model market-oriented costing.
  • Keunggulan: Model market-oriented dari metode target costing sangat bagus diterapkan pada produksi barang yang memiliki tingkat kompetisi yang tinggi di pasaran (consumer goods, apparels dan electronics misalnya).
  • Kelemahan: Satu-satunya kelemahan metode target costing ini adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukan riset dan perancangan produk—yang jika tidak dilakukan dengan time table yang ketat, bisa keteteran dalam menghadapi laju perubahan time-value money dan inflasi dalam jangka panjang. Proses yang panjang ini otomatis memakan waktu dan tenaga yang besar. Saya pribadi meng-hybrid-kan metode ini dengan standard costing. Target costing saya gunakan khusus untuk produk baru yang belum memiliki segment pasar pasti (untuk keperluan infiltrasi pasar).

Secara keseluruhan, pemilihin metode costing sangat berpengaruh terhadap informasi cost yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan oleh mangement perusahaan (untuk keperluan  product pricing dan costing), berkaitan langsung dengan tingkat profitabilitas perushaan dalam skala yang lebih luas. Oleh sebab itu, saya selalu menganjurkan agar, pemilihan metode costing benar-benar dilakukan dengan “management’s interest in mind”, bukan yang lainnya. Dengan costing best practicesyang baik, cost accounting akan bisa berdaya guna secara maksimal. Berusaha mengkombinasikan beberapa metode costing, selalu baik—dengan catatan: disesuaikan dengan karakter produk, kapasitas produksi dan organization behaviorallainnya.

SUMBER:http://jurnalakuntansikeuangan.com/2012/04/akuntansi-biaya-ragam-metode-costing-keunggulan-dan-kelemahannya/

Popular Posts